A. Latar Belakang.
Mengamati perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari sisi budaya organisasi merupakan hal yang menarik. Irjen.Pol.Purn Drs.Momo Kelana,M.Si. dalam tulisannya yang berjudul “Membangun Budaya Polisi Indonesia” menyatakan bahwa, proses membangun budaya Polisi Indonesia tidak berlangsung pada ruang hampa, tetapi berada dalam proses membangun budaya bangsa dengan serba pengaruh lingkungan global, regional dan nasional yang beraneka ragam dan berubah cepat. Selain itu dikatakan juga bahwa “Budaya Polisi Indonesia” merupakan bagian tak terpisahkan dari “Budaya Bangsa Indonesia yang menegara”.[1]
Sejak bergulirnya reformasi, berbagai perubahan dilakukan dalam tatanan kehidupan kenegaraan termasuk reformasi dalam bidang keamanan yang menuntut pemisahaan Polri dari TNI, setelah selama 30 tahun terintegrasi dalam tubuh ABRI. Perubahan yang dilakukan secara tegas membedakan tugas pertahanan yang diemban oleh TNI dengan tugas pemeliharaan keamanan yang dipercayakan kepada Polri. Perubahan ini seharusnya juga diiringi dengan adanya perubahan pada dimensi budaya organisasi Polri yang dahulu adalah organisasi militer dan kini telah menjadi organisasi sipil.
Pada budaya organisasi sipil, Polri selayaknya menampilkan budaya organisasi yang bersifat humanistik dalam mencapai tujuan organisasinya. Dimana hubungan kerja antar sesama anggota akan selalu mencerminkan adanya kerjasama secara timbal balik (dua arah), baik pada hubungan kerja horizontal (pada level yang sama) maupun hubungan kerja vertikal (hubungan antara atasan dan bawahan). Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan yang memisahkan Polri dari TNI (budaya organisasi yang bersifat mekanistik).
Dengan demikian maka diperlukan adanya usaha yang terarah guna melakukan upaya-upaya dalam menyingkapi adanya perubahan pada sifat organisasi tersebut. Rhenald Kasali dalam bukunya “Manajemen Perubahan” menyatakan bahwa sebagian besar kita beranggapan perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah. Bahkan kebanyakan strategi perubahan (turn arround) diluncurkan saat memasuki tahap krisis. Kata para ahli, untuk menciptakan perubahan dibutuhkan perasaan-perasaan tidak puas terhadap kondisi sekarang. Kemudian ditambahkan lagi bahwa perubahan pada saat sedang berada di titik rendah adalah sangat rawan. Sebab pada saat itu, anda sudah tak punya energy dan resources sama sekali untuk mengangkatnya kembali.[2]
Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Seperti ada pepatah mengatakan “tidak semudah membalikan telapak tangan”. Dengan demikian diperlukan adanya keinginan secara menyeluruh dari semua anggota Polri untuk merubah dirinya secara terus menerus sebagaimana kutipan dari esayist Evelyn Waugh “Change is the only evidence of life” (perubahan adalah satu-satunya bukti kehidupan).
B. Konsep Dan Teori.
1. Teori Budaya
Organisasi (Stephen P. Robbins)
Adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi sehingga menjadi sebuah sistem makna
bersama. Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggotanya yang membedakan organisasi itu dengan
organisasi-organisasi yang lain. Makna bersama adalah merupakan
seperangkat karakteristik yang dihargai oleh organisasi itu.
Karekteristik tersebut adalah : Inovasi, Terperinci, Hasil Kerja, Humanistik,
Tim Work, Kompetitif dan Kepastian. Semakin banyak anggota organisasi yang
menerima makna bersama itu menjadikan budaya organisasi itu semakin kuat dan
sebaliknya.[3]
2. Konsep Penegakan Hukum Oleh Soerjono Soekanto
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[4]
Karena itu tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri (legal substance).
b. Faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (legal apparatus).
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (legal culture).
Adapun ruang lingkup penegakkan hukum itu sesungguhnya amat luas, sebab, mencakup mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang hukum. Dalam tulisan ini kita batasi penegak hukum itu mereka yang berkecimpung secara langsung dalam bidang penegakkan hukum mencakup law enenforcement dan peace maintenance.
Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri, fasilitas, kesadaran dan kepatuhan masyarakat, juga sangat tergantung kepada faktor Penegak Hukum baik secara personal ataupun corpgeest. Namun meski faktor-faktor itu telah memenuhi standar yang diperlukan untuk tegaknya hukum dengan baik, masih diperlukan system politik demokratis yang berlaku dalam suatu negara. Pada saat system politik tampil secara demokratis maka fungsi hukum dapat tegak dengan baik dan penegakkan hukum menjadi lebih dimungkinkan.
3. Konsep Manajemen Perubahan
Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent [5].
Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.
Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.
Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.
4. Teori Motivasi Pengharapan Oleh Victor Vroom
Teori ini membahas bahwa seseorang berperilaku tertentu
yang sesuai dengan keinginan organisasi adalah akibat adanya pengharapan bahwa perilaku tersebut
akan diikuti oleh hasil tertentu yang sesuai dengan pengharapannya.[6]
• Titik kritis 1 :
Apakah upaya tinggi yang saya berikan akan menghasilkan penilaian kinerja yang
tinggi oleh atasan saya ?
• Titik kritis 2 :
Apakah penilaian kinerja saya yang tinggi tersebut akan menghasilkan reward atau promosi jabatan ?
• Titik kritis 3 :
Apakah reward yang saya terima atau
promosi jabatan tersebut sudah sesuai dengan harapan saya ?
C. Potret Budaya Polri
Citra masyarakat terhadap
Polri tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh
sikap dan tindakan sehari-hari aparat Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan
dan dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat tentang Polri
merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur
penegakkan hukum yang dipraktekkan oleh Polri. Hal ini dikemukakan oleh Bibit
S. Rianto dalam makalah seminar yang diadakan oleh Universitas Gajah Mada
dengan tema “Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Madani”.
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa Polri saat ini belum bersih dan belum berwibawa, belum mampu
mewujudkan rasa aman masyarakat, belum mampu memberikan kemudahan-kemudahan prosedur
dan keramahan dalam pelayanan masyarakat dan belum memiliki kinerja yang
profesional sesuai harapan masyarakat yang tercermin dalam prilaku anggota di
lapangan. Kultur Polisi saat ini sudah menyimpang dari kultur polisi universal,
baik secara kelembagaan maupun personal, yaitu militeristik dan klientilistik
yang tidak terlepas dari kultur politik makro nasional yang bercorak
birokratik, korporatif dan militerristik.
Seirama dengan
alur perubahan dalam era reformasi, kultur Polri yang akan dibangun harus compatible dengan sistem demokratis dan
pembentukan masyarakat madani/civil
society di Indonesia. Menurut Bibit, dituntut 2 (dua) hal yang harus
dikembangkan, yaitu budaya Polri yang berorientasi pada nilai-nilai madani dan
budaya Polri yang berorientassi pada publik, dimana polri berfungsi sebagai
salah satu pilar penting dalam kehidupan bernegara secara beradab, yang
menggunakan metoda dan pendekatan yang bercorak non militeristik, non kekerasan
serta memberikan penghormatan Hak Azasi Manusia sebagai suatu corporate culture Polri, yang
memperhatikan aspek-aspek dan dinamika lokal serta menjalankan prinsip-prinsip
akuntabilitas.
Berikutnya penulis
menemukan berita yang dilansir oleh Kompas mengenai adanya budaya negatif yang
berkembang di tubuh Polri. Berita ini merupakan laporan dari Rapat Kerja Komisi
III DPR dengan Kapolri Periode. Salah satu dari anggota Komisi III, menyatakan
bahwa masih ada indikasi yang kuat dalam hal mutasi perwira untuk menempati
posisi strategis yang berasal dari etnis tertentu, padahal mutunya pas-pasan.
Di sisi lain, banyak yang dipromosikan di jabatan tertentu, setelah diduga
menyetor uang kepada pejabat yang berwenang. Diungkapkan pula, dari percakapan
dengan sejumlah sopir angkutan kota di Ciawi, Bogor , para
sopir menyetor Rp 130.000 per hari kepada polisi setempat. Dalam beberapa
kasus, sopir-sopir juga sering dicari-cari kesalahannya, misalnya dianggap
salah ambil jalur. Namun, setelah membayar Rp 30.000, habis perkara.[7]
Masih banyak
kita saksikan praktik suap, sogok dan aneka pengingkaran hukum dan HAM di tubuh
Polri dalam mengusut tuntas kasus-kasus hukum. Bahkan, polisi dapat tunduk pada
kekuasaan politik saat berhadapan dengan kasus-kasus pidana, terutama tindakan
korupsi yang melibatkan pejabat publik dalam lingkaran kekuasaan politik. Minimnya
dana operasional polisi membuat polisi cenderung kompromi dengan kejahatan dan
berperilaku curang. Hasil
penelitian dari Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2003 menunjukkan tingkat
korupsi di tubuh Polri sangat tinggi, jika dibandingkan dengan polisi di Asia
lainnya.
Berikutnya
adalah budaya militerisme yang masih kental pada anggota Polri dalam
melaksanakan tugas yang diembannya sebagai penegak hukum. Seperti yang
dijabarkan oleh Nurfaizi dalam makalah seminar “Membangun Kultur Baru Polri” bahwa, Kepolisian
adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat
universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik polisi
sebagai fungsi maupun polisi sebagai organ. Bila ditilik dari asal muasalnya,
fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Fungsi kepolisian
ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat
terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Disebabkan kemungkinan
adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari
individu-individu warga masyarakat. Ketika masyarakat itu bersepakat untuk
hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang
disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi "Sicherheitspolitizei". Jadi kehadiran polisi itu adalah
tergolong organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek
pematuhan (enforcing effect).
Namun praktek
perpolisian selama empat dasawarsa terakhir, POLRI telah menampilkan wajah
sebagai sosok militer, yang menempatkan warga masyarakat sebagai lawannya.
Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga acapkali outputnya
adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan kekerasan telanjang" (brute force), yang lebih mencerminkan
diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan, sehingga tak
pelak lagi POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.
Farouk Muhammad
dalam tulisannya yang berjudul ”Merealisasikan Polisi Sipil” menyatakan bahwa,
arti kata sipil (civil) bila
dikaitkan dengan perpolisian maka adalah berarti sopan. Civil juga berarti santun, ramah, tidak kasar, dan sejenisnya yang
jika diinterpretasi dalam konteks birokrasi akan mencerminkan sebuah pengertian
yang berlawanan dengan kekuasaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa, polisi sipil bukan polisi
kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan bukan sesuatu yang tabu dalam
kepolisian. Implikasi pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil
adalah pada pengakuan polisi atas diri klien (setiap orang yang melakukan
kontak dengan polisi) sebagai sosok yang memiliki martabat dan harga diri.
Dengan demikian, lebih dari sekadar menghadirkan rasa aman, menjamin kepastian
hukum, dan memperlakukan klien secara fair,
paradigma kepolisian sipil lebih esensial lagi mengharuskan polisi untuk selalu
mengedepankan kesopanan dan keramahan, sekaligus sejauh mungkin menghindari
penggunaan kekuatan. Polisi di semua lini, termasuk polisi lalu lintas dan
petugas interogasi, harus menghayati dan mendemonstrasikan perilaku civil itu dalam pelaksanaan tugas
mereka.
Selanjutnya dalam tulisan mengenai ”Hari Jadi Polri ke 61” di koran Kompas,
Bambang Widodo Umar menegaskan, perubahan kultur yang sistemik harus dimulai
dengan mengubah manajemen Polri yang masih militeristik menjadi manajemen
sipil. Bambang
mengilustrasikan, manajemen militeristik itu sebagai manajemen "Siap, Dan
(komandan)". "Hapuskan juga budaya perintah-perintah tanpa dukungan
anggaran. Yang terjadi anak buah cuma bisa "Siap Dan". Rakyat yang
kasihan dipunguti “dana," ujar Bambang. Apa yang disampaikan ini memang
kenyataan yang terjadi di lapangan. Seorang polisi lalu lintas di area
Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pernah berkeluh kesah
bagaimana atasannya tidak mau tahu jika anak buahnya sudah tidak punya uang
bensin untuk patroli. "Memangnya kamu enggak bisa usaha sendiri di
jalan," ujarnya menirukan ucapan pimpinannya. Tak mengherankan jika (oknum)
polisi lalu jadi pengutip rakyat, bukan pengayom.
Bibit S. Rianto
menambahkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat melihat polisi bukan
sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga. Tidak jarang kesalahan
seorang nggota polisi (oknum) digeneralisir sebagai kesalahan lembaga polisi
secara keseluruhan. Oleh karena itu budaya perseorangan petugas polisi harus
dapat dikendalikan (idealis) dengan budaya organisasi (corporate cultur). Berikut ini kutipan
mengenai corporate culture dari
Charles Hampden dan Turner dalam bukunya Corporate
Culture (Yudipiatkus Ltd. London, 1994), menyebutkan :"The culture of organization defines
appropirate behavior, bonds and motivator individuals and assert solutions
where there is ambiquity" (Budaya organisasi didefinisikan sebagai
tingkah laku yang sesuai, perjanjian dan motivasi individual dan memberikan
pemecahan dimana terdapat dua pilihan). Selanjutnya dikatakan bahwa
pengendalian (control) dan pemahaaman
terhadap budaya organisasi (understanding
of an organization’s corporate culture) merupakan kunci tanggung jawab
pimpinan organisasi sebagai alat utama (vital
tool) untuk menggerakkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan memberikan
"shareholder value"
(nilai-nilai pihak yang terkait).
D. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Polri.
Pembinaan
Sumber Daya Manusia Polri saat ini mengenal siklus personel mulai dari
penerimaan, pendidikan penempatan, penggunaan, perawatan dan pemisahan dan
penyaluran serta pengakhiran kedinasan. Kebijaksanaan yang saat ini ada pada
umumnya bersifat centralized
(terpusat), keecuali pembinaan karier untuk Pamen, Bintara, dan Tamtama seta
Pegawai Negri Sipil Polri diserahkan kepada Kapolda. Permasalahan yang sering
mencuat kepermukaan adalah pada tahap-tahap penerimaan personel, penempatan dan
penggunaan perdsonel, termasuk pengendalian karier personel, pada-pada tempat
inilah yang rawan kolusi dan nepotisme. Banyak rumor yang berkembang di
luar/masyarakat tentang hali ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang bisa "mengatur".
Sayangnya pembuktian masalah ini susah, korbanpun tidak ingin menjadi saksi
pelapor dalam persidangan kecuali yang tertangkap tangan.
Penulis
berpendapat bahwa sistem di dalam penyelenggaraan organisasi Sumber Daya
Manusia (SDM) Polri yang telah terkontaminasi dengan budaya negatif ini
merupakan faktor awal yang menjadikan perilaku anggota Polri ke arah yang tidak
efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasinya (pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat). Ada
kecenderungan bahwa ketika ingin masuk menjadi anggota Polri dengan menggunakan
uang, maka saat ia telah menjadi anggota Polri perilakunya adalah ingin
mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk masuk menjadi anggota Polri
tersebut (kembali modal).
Selain itu
minimnya kesejahteraan polisi akan memunculkan aneka perilaku culas, sogok, dan
suap di tubuh polisi, dimana kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya sangat
besar untuk digunakan ke arah yang tidak menentu. Berdalih dengan menggunakan
diskresi kepolisian maka oknum tersebut dapat melegalkan perilaku culas, sogok
dan suap yang memang keadaan ini juga dipicu akibat adanya tawaran dari pelaku
kejahatan. Karena itu, menyejahterakan personel polisi menjadi penting dan
utama, jika kita ingin agar aparat polisi jujur dan lurus. Tindakan konkretnya
dapat dilakukan dengan, misalnya, mengubah sistem penggajian Polri tidak sama
dengan PNS biasa. Saatnya dipikirkan perlunya penambahan insentif dan tunjangan
khusus bagi polisi. Fasilitas di bidang
personel seperti perumahan dinas, sarana transportasi, sarana latihan masih
belum terprogramkan secara integrated
dengan kebutuhan anggota sehingga banyak anggota baru yang "kleleran"
(tidak terurus) yang berakibat menurunnya kinerja Polri, bahkan akan mewarnai
budaya Polri yang sedang dikembangkan.
Komitmen dari
Top Manajemen dalam organisasi Polri juga harus memberikan tauladan dan kemauan
yang kuat untuk membangun suatu budaya yang kuat dalam organisasi yang
dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan
komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu
organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh
anggota Polri. Hal ini masih sangat terkait dengan budaya masyarakat Indonesia yang
Paternalistik, dimana anak buah akan mencontoh apa yang dilakukan oleh
atasannya sebagai panutan atau tokoh yang dipuja. Dengan demikian membangun
lingkungan organisasi yang kondusif oleh pimpinan sangat diperlukan dalam
membangun suatu etika perilaku dan budaya oganisasi yang kuat. Rendahnya
kepedulian dan moral seorang pemimpin akan menyuburkan tindakan kecurangan yang
pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi.
E. Solusi.
Adapun solusi
atau strategi yang dikemukakan berikut ini adalah rangkuman dari berbagai tulisan
yang menyangkut perbaikan budaya Polri oleh para pakar ilmu kepolisian yang
ditulis di berbagai media massa .
Pertama,
melanjutkan sosialisasi internal tentang paradigma baru kepolisian melalui
konsep change management, khususnya
berkenaan dengan internalisasi karakter civil
ini, dengan terus-menerus menekankan bahwa institusi Polri adalah milik
masyarakat kepada siapa mereka harus mengabdi. Semboyan "abdi negara"
yang notabene membawa dampak praktik
pengabdian yang berorientasi ke atas sudah saatnya dikesampingkan.
Kedua,
mempertegas prosedur standar yang sudah ada sehingga anggota kepolisian
benar-benar memahami dengan pasti kapan dan bagaimana kekerasan/kekuatan-hanya
jika diperlukan-dapat digunakan. Kekerasan tidak lagi menjadi senjata utama
melainkan para anggota Polri diharapkan memiliki kemampuan dalam berkomunikasi
dengan baik dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkembang di
masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui pelatihan-pelatihan oleh lembaga-lembaga
yang berkompeten dalam bidang komunikasi massa
seperti kerjasama dengan institusi-intistusi pendidikan.
Ketiga,
melanjutkan penataan kembali sistem pendidikan Polri sehingga tidak hanya
menyangkut aspek kurikulum, tetapi juga jenis dan jenjangnya, termasuk
pembinaan aspek moral dan pengendalian diskresi. Sistem yang diterapkan dewasa
ini khususnya pada level Sekolah Kepolisian Negara (SPN) masih menyimpan
benih-benih bagi berkembangnya polisi kekuasaan. Metode
pembelajaran yang lebih bersifat instruksional, kualitas tenaga instruktur, dan
nuansa pendidikan yang masih kaku dan militeristik adalah faktor-faktor
penghambat pembentukan polisi yang berbudaya sipil.
Keempat, di
samping melalui proses pendidikan, pengembangan sumber daya manusia perlu
diikuti dengan proses pelatihan secara reguler, khususnya pembentukan
keterampilan dan pembinaan kepribadian. Proses pelatihan harus dilakukan pada
situasi dan kondisi yang sejauh mungkin didekatkan dengan alam nyata (praktik),
terutama pada tingkat Kepolisian Resor (Polres). Keberadaan instruktur
pelatihan pada tingkat polres, sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang
Organisasi dan Tata Kerja Polres, harus difungsikan secara optimal dengan
menyelenggarakan pelatihan dalam rangka pemeliharaan keterampilan, termasuk
pembinaan moral dan kepribadian bagi segenap anggota Polres secara bergantian.
Kelima,
penyusunan mekanisme pengawasan eksternal yang bersifat lokal. Dalam hal ini,
masyarakat tidak hanya berpeluang mengajukan laporan atau pengaduan dan keluhan
seperti yang telah berjalan dewasa ini, tetapi juga mempunyai akses untuk
mengetahui tindak lanjut dan penyelesaian atas laporan atau pengaduan tersebut
(proses yang transparan).
Keenam, sedangkan
hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif dalam
mengurangi resiko kecurangan yaitu dengan memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil.
Dimana anggota yang memiliki kemampuan kerja yang optimal mendapatkan reward yang sesuai dengan upaya yang
dilakukannya, hal ini terkait dengan motivasi anggota dalam meniti karirnya.
Sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama dalam mewujudkan
kemampuan kerjanya. Selain itu hal ini juga akan berdampak pada adanya
kerjasama dalam mengambil suatu keputusan.
Penulis : Godfrid Hutapea, SE, M.Si.
Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK,
Staff Pengajar Mata Kuliah Administrasi Kepolisian,
saat ini sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian
di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian- PTIK.
[3] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm 234.
[4] Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta, Raja Press, 2002, hal.55.
[5] Kurt Lewin, Field Theory in Social Science, dalam Hasan Mustafa “Manajemen Perubahan”, 2001.
[6] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm 164.