Senin, 17 Agustus 2015

BUDAYA ORGANISASI POLRI

A.     Latar Belakang.
Mengamati perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari sisi budaya organisasi merupakan hal yang menarikIrjen.Pol.Purn Drs.Momo Kelana,M.Si. dalam tulisannya yang berjudul “Membangun Budaya Polisi Indonesia” menyatakan bahwa, proses membangun budaya Polisi Indonesia tidak berlangsung pada ruang hampa, tetapi berada dalam proses membangun budaya bangsa dengan serba pengaruh lingkungan global, regional dan nasional yang beraneka ragam dan berubah cepat. Selain itu dikatakan juga bahwa “Budaya Polisi Indonesia” merupakan bagian tak terpisahkan dari “Budaya Bangsa Indonesia yang menegara”.[1]
Sejak bergulirnya reformasi, berbagai perubahan dilakukan dalam tatanan kehidupan kenegaraan termasuk reformasi dalam bidang keamanan yang menuntut pemisahaan Polri dari TNI, setelah selama 30 tahun terintegrasi dalam tubuh ABRI. Perubahan yang dilakukan secara tegas membedakan tugas pertahanan yang diemban oleh TNI dengan tugas pemeliharaan keamanan yang dipercayakan kepada Polri. Perubahan ini seharusnya juga diiringi dengan adanya perubahan pada dimensi budaya organisasi Polri yang dahulu adalah organisasi militer dan kini telah menjadi organisasi sipil.
Pada budaya organisasi sipil, Polri selayaknya menampilkan budaya organisasi yang bersifat humanistik dalam mencapai tujuan organisasinya. Dimana hubungan kerja antar sesama anggota akan selalu mencerminkan adanya kerjasama secara timbal balik (dua arah), baik pada hubungan kerja horizontal (pada level yang sama) maupun hubungan kerja vertikal (hubungan antara atasan dan bawahan). Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan yang memisahkan Polri dari TNI (budaya organisasi yang bersifat mekanistik).
Dengan demikian maka diperlukan adanya usaha yang terarah guna melakukan upaya-upaya dalam menyingkapi adanya perubahan pada sifat organisasi tersebut. Rhenald Kasali dalam bukunya “Manajemen Perubahan” menyatakan bahwa sebagian besar kita beranggapan perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah. Bahkan kebanyakan strategi perubahan (turn arround) diluncurkan saat memasuki tahap krisis. Kata para ahli, untuk menciptakan perubahan dibutuhkan perasaan-perasaan tidak puas terhadap kondisi sekarang. Kemudian ditambahkan lagi bahwa perubahan pada saat sedang berada di titik rendah adalah sangat rawan. Sebab pada saat itu, anda sudah tak punya energy dan resources sama sekali untuk mengangkatnya kembali.[2]
Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Seperti ada pepatah mengatakan “tidak semudah membalikan telapak tangan”. Dengan demikian diperlukan adanya keinginan secara menyeluruh dari semua anggota Polri untuk merubah dirinya secara terus menerus sebagaimana kutipan dari esayist Evelyn Waugh “Change is the only evidence of life” (perubahan adalah satu-satunya bukti kehidupan).

B. Konsep Dan Teori.
      1.  Teori Budaya Organisasi (Stephen P. Robbins)
           Adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi sehingga menjadi sebuah sistem makna bersama. Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi yang lain. Makna bersama adalah merupakan seperangkat karakteristik yang dihargai oleh organisasi itu. Karekteristik tersebut adalah : Inovasi, Terperinci, Hasil Kerja, Humanistik, Tim Work, Kompetitif dan Kepastian. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima makna bersama itu menjadikan budaya organisasi itu semakin kuat dan sebaliknya.[3]

       2.  Konsep Penegakan Hukum Oleh Soerjono Soekanto
          Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[4]
           Karena itu tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu:
a.  Faktor hukumnya sendiri (legal substance).
b.  Faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (legal apparatus).
c.   Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.  Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.  Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (legal culture).
Adapun ruang lingkup penegakkan hukum itu sesungguhnya amat luas, sebab, mencakup mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang hukum. Dalam tulisan ini kita batasi penegak hukum itu mereka yang berkecimpung secara langsung dalam bidang penegakkan hukum mencakup law enenforcement dan peace maintenance.
Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri, fasilitas, kesadaran dan kepatuhan masyarakat, juga sangat tergantung kepada faktor Penegak Hukum baik secara personal ataupun corpgeest. Namun meski faktor-faktor itu telah memenuhi standar yang diperlukan untuk tegaknya hukum dengan baik, masih diperlukan system politik demokratis yang berlaku dalam suatu negara. Pada saat system politik tampil secara demokratis maka fungsi hukum dapat tegak dengan baik dan penegakkan hukum menjadi lebih dimungkinkan.

       3.  Konsep Manajemen Perubahan
              Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent [5].
          Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.
Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang  merasa kurang nyaman.
Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.

       4.  Teori Motivasi Pengharapan Oleh Victor Vroom
          Teori ini membahas bahwa seseorang berperilaku tertentu yang sesuai dengan keinginan organisasi adalah akibat  adanya pengharapan bahwa perilaku tersebut akan diikuti oleh hasil tertentu yang sesuai dengan pengharapannya.[6]

    Titik kritis 1 : Apakah upaya tinggi yang saya berikan akan menghasilkan penilaian kinerja yang tinggi oleh atasan saya ?
    Titik kritis 2 : Apakah penilaian kinerja saya yang tinggi tersebut akan menghasilkan reward atau promosi jabatan ?
    Titik kritis 3 : Apakah reward yang saya terima atau promosi jabatan tersebut sudah sesuai dengan harapan saya ?

C.  Potret Budaya Polri
   Citra masyarakat terhadap Polri tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh sikap dan tindakan sehari-hari aparat Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan dan dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat tentang Polri merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur penegakkan hukum yang dipraktekkan oleh Polri. Hal ini dikemukakan oleh Bibit S. Rianto dalam makalah seminar yang diadakan oleh Universitas Gajah Mada dengan tema “Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Madani”.
    Lebih lanjut dinyatakan bahwa Polri saat ini belum bersih dan belum berwibawa, belum mampu mewujudkan rasa aman masyarakat, belum mampu memberikan kemudahan-kemudahan prosedur dan keramahan dalam pelayanan masyarakat dan belum memiliki kinerja yang profesional sesuai harapan masyarakat yang tercermin dalam prilaku anggota di lapangan. Kultur Polisi saat ini sudah menyimpang dari kultur polisi universal, baik secara kelembagaan maupun personal, yaitu militeristik dan klientilistik yang tidak terlepas dari kultur politik makro nasional yang bercorak birokratik, korporatif dan militerristik.
     Seirama dengan alur perubahan dalam era reformasi, kultur Polri yang akan dibangun harus compatible dengan sistem demokratis dan pembentukan masyarakat madani/civil society di Indonesia. Menurut Bibit, dituntut 2 (dua) hal yang harus dikembangkan, yaitu budaya Polri yang berorientasi pada nilai-nilai madani dan budaya Polri yang berorientassi pada publik, dimana polri berfungsi sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan bernegara secara beradab, yang menggunakan metoda dan pendekatan yang bercorak non militeristik, non kekerasan serta memberikan penghormatan Hak Azasi Manusia sebagai suatu corporate culture Polri, yang memperhatikan aspek-aspek dan dinamika lokal serta menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas.
   Berikutnya penulis menemukan berita yang dilansir oleh Kompas mengenai adanya budaya negatif yang berkembang di tubuh Polri. Berita ini merupakan laporan dari Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Periode. Salah satu dari anggota Komisi III, menyatakan bahwa masih ada indikasi yang kuat dalam hal mutasi perwira untuk menempati posisi strategis yang berasal dari etnis tertentu, padahal mutunya pas-pasan. Di sisi lain, banyak yang dipromosikan di jabatan tertentu, setelah diduga menyetor uang kepada pejabat yang berwenang. Diungkapkan pula, dari percakapan dengan sejumlah sopir angkutan kota di Ciawi, Bogor, para sopir menyetor Rp 130.000 per hari kepada polisi setempat. Dalam beberapa kasus, sopir-sopir juga sering dicari-cari kesalahannya, misalnya dianggap salah ambil jalur. Namun, setelah membayar Rp 30.000, habis perkara.[7]
     Masih banyak kita saksikan praktik suap, sogok dan aneka pengingkaran hukum dan HAM di tubuh Polri dalam mengusut tuntas kasus-kasus hukum. Bahkan, polisi dapat tunduk pada kekuasaan politik saat berhadapan dengan kasus-kasus pidana, terutama tindakan korupsi yang melibatkan pejabat publik dalam lingkaran kekuasaan politik. Minimnya dana operasional polisi membuat polisi cenderung kompromi dengan kejahatan dan berperilaku curang. Hasil penelitian dari Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2003 menunjukkan tingkat korupsi di tubuh Polri sangat tinggi, jika dibandingkan dengan polisi di Asia lainnya.
  Berikutnya adalah budaya militerisme yang masih kental pada anggota Polri dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai penegak hukum. Seperti yang dijabarkan oleh Nurfaizi dalam makalah seminar “Membangun Kultur Baru Polri” bahwa, Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik polisi sebagai fungsi maupun polisi sebagai organ. Bila ditilik dari asal muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Fungsi kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Disebabkan kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari individu-individu warga masyarakat. Ketika masyarakat itu bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi "Sicherheitspolitizei". Jadi kehadiran polisi itu adalah tergolong organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect).
    Namun praktek perpolisian selama empat dasawarsa terakhir, POLRI telah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan kekerasan telanjang" (brute force), yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.
     Farouk Muhammad dalam tulisannya yang berjudul ”Merealisasikan Polisi Sipil” menyatakan bahwa, arti kata sipil (civil) bila dikaitkan dengan perpolisian maka adalah berarti sopan. Civil juga berarti santun, ramah, tidak kasar, dan sejenisnya yang jika diinterpretasi dalam konteks birokrasi akan mencerminkan sebuah pengertian yang berlawanan dengan kekuasaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa, polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan bukan sesuatu yang tabu dalam kepolisian. Implikasi pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien (setiap orang yang melakukan kontak dengan polisi) sebagai sosok yang memiliki martabat dan harga diri. Dengan demikian, lebih dari sekadar menghadirkan rasa aman, menjamin kepastian hukum, dan memperlakukan klien secara fair, paradigma kepolisian sipil lebih esensial lagi mengharuskan polisi untuk selalu mengedepankan kesopanan dan keramahan, sekaligus sejauh mungkin menghindari penggunaan kekuatan. Polisi di semua lini, termasuk polisi lalu lintas dan petugas interogasi, harus menghayati dan mendemonstrasikan perilaku civil itu dalam pelaksanaan tugas mereka.
    Selanjutnya dalam tulisan mengenai ”Hari Jadi Polri ke 61” di koran Kompas, Bambang Widodo Umar menegaskan, perubahan kultur yang sistemik harus dimulai dengan mengubah manajemen Polri yang masih militeristik menjadi manajemen sipil. Bambang mengilustrasikan, manajemen militeristik itu sebagai manajemen "Siap, Dan (komandan)". "Hapuskan juga budaya perintah-perintah tanpa dukungan anggaran. Yang terjadi anak buah cuma bisa "Siap Dan". Rakyat yang kasihan dipunguti “dana," ujar Bambang. Apa yang disampaikan ini memang kenyataan yang terjadi di lapangan. Seorang polisi lalu lintas di area Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pernah berkeluh kesah bagaimana atasannya tidak mau tahu jika anak buahnya sudah tidak punya uang bensin untuk patroli. "Memangnya kamu enggak bisa usaha sendiri di jalan," ujarnya menirukan ucapan pimpinannya. Tak mengherankan jika (oknum) polisi lalu jadi pengutip rakyat, bukan pengayom.
    Bibit S. Rianto menambahkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga. Tidak jarang kesalahan seorang nggota polisi (oknum) digeneralisir sebagai kesalahan lembaga polisi secara keseluruhan. Oleh karena itu budaya perseorangan petugas polisi harus dapat dikendalikan (idealis) dengan budaya organisasi (corporate cultur). Berikut ini kutipan mengenai corporate culture dari Charles Hampden dan Turner dalam bukunya Corporate Culture (Yudipiatkus Ltd. London, 1994), menyebutkan :"The culture of organization defines appropirate behavior, bonds and motivator individuals and assert solutions where there is ambiquity" (Budaya organisasi didefinisikan sebagai tingkah laku yang sesuai, perjanjian dan motivasi individual dan memberikan pemecahan dimana terdapat dua pilihan). Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian (control) dan pemahaaman terhadap budaya organisasi (understanding of an organization’s corporate culture) merupakan kunci tanggung jawab pimpinan organisasi sebagai alat utama (vital tool) untuk menggerakkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan memberikan "shareholder value" (nilai-nilai pihak yang terkait).

D.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi Polri.
    Pembinaan Sumber Daya Manusia Polri saat ini mengenal siklus personel mulai dari penerimaan, pendidikan penempatan, penggunaan, perawatan dan pemisahan dan penyaluran serta pengakhiran kedinasan. Kebijaksanaan yang saat ini ada pada umumnya bersifat centralized (terpusat), keecuali pembinaan karier untuk Pamen, Bintara, dan Tamtama seta Pegawai Negri Sipil Polri diserahkan kepada Kapolda. Permasalahan yang sering mencuat kepermukaan adalah pada tahap-tahap penerimaan personel, penempatan dan penggunaan perdsonel, termasuk pengendalian karier personel, pada-pada tempat inilah yang rawan kolusi dan nepotisme. Banyak rumor yang berkembang di luar/masyarakat tentang hali ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang bisa "mengatur". Sayangnya pembuktian masalah ini susah, korbanpun tidak ingin menjadi saksi pelapor dalam persidangan kecuali yang tertangkap tangan.
    Penulis berpendapat bahwa sistem di dalam penyelenggaraan organisasi Sumber Daya Manusia (SDM) Polri yang telah terkontaminasi dengan budaya negatif ini merupakan faktor awal yang menjadikan perilaku anggota Polri ke arah yang tidak efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasinya (pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat). Ada kecenderungan bahwa ketika ingin masuk menjadi anggota Polri dengan menggunakan uang, maka saat ia telah menjadi anggota Polri perilakunya adalah ingin mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk masuk menjadi anggota Polri tersebut (kembali modal).
    Selain itu minimnya kesejahteraan polisi akan memunculkan aneka perilaku culas, sogok, dan suap di tubuh polisi, dimana kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya sangat besar untuk digunakan ke arah yang tidak menentu. Berdalih dengan menggunakan diskresi kepolisian maka oknum tersebut dapat melegalkan perilaku culas, sogok dan suap yang memang keadaan ini juga dipicu akibat adanya tawaran dari pelaku kejahatan. Karena itu, menyejahterakan personel polisi menjadi penting dan utama, jika kita ingin agar aparat polisi jujur dan lurus. Tindakan konkretnya dapat dilakukan dengan, misalnya, mengubah sistem penggajian Polri tidak sama dengan PNS biasa. Saatnya dipikirkan perlunya penambahan insentif dan tunjangan khusus bagi polisi.  Fasilitas di bidang personel seperti perumahan dinas, sarana transportasi, sarana latihan masih belum terprogramkan secara integrated dengan kebutuhan anggota sehingga banyak anggota baru yang "kleleran" (tidak terurus) yang berakibat menurunnya kinerja Polri, bahkan akan mewarnai budaya Polri yang sedang dikembangkan.
     Komitmen dari Top Manajemen dalam organisasi Polri juga harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membangun suatu budaya yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh anggota Polri. Hal ini masih sangat terkait dengan budaya masyarakat Indonesia yang Paternalistik, dimana anak buah akan mencontoh apa yang dilakukan oleh atasannya sebagai panutan atau tokoh yang dipuja. Dengan demikian membangun lingkungan organisasi yang kondusif oleh pimpinan sangat diperlukan dalam membangun suatu etika perilaku dan budaya oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan moral seorang pemimpin akan menyuburkan tindakan kecurangan yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi.

E.  Solusi.
      Adapun solusi atau strategi yang dikemukakan berikut ini adalah rangkuman dari berbagai tulisan yang menyangkut perbaikan budaya Polri oleh para pakar ilmu kepolisian yang ditulis di berbagai media massa.
     Pertama, melanjutkan sosialisasi internal tentang paradigma baru kepolisian melalui konsep change management, khususnya berkenaan dengan internalisasi karakter civil ini, dengan terus-menerus menekankan bahwa institusi Polri adalah milik masyarakat kepada siapa mereka harus mengabdi. Semboyan "abdi negara" yang notabene membawa dampak praktik pengabdian yang berorientasi ke atas sudah saatnya dikesampingkan.
    Kedua, mempertegas prosedur standar yang sudah ada sehingga anggota kepolisian benar-benar memahami dengan pasti kapan dan bagaimana kekerasan/kekuatan-hanya jika diperlukan-dapat digunakan. Kekerasan tidak lagi menjadi senjata utama melainkan para anggota Polri diharapkan memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan baik dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui pelatihan-pelatihan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten dalam bidang komunikasi massa seperti kerjasama dengan institusi-intistusi pendidikan.
   Ketiga, melanjutkan penataan kembali sistem pendidikan Polri sehingga tidak hanya menyangkut aspek kurikulum, tetapi juga jenis dan jenjangnya, termasuk pembinaan aspek moral dan pengendalian diskresi. Sistem yang diterapkan dewasa ini khususnya pada level Sekolah Kepolisian Negara (SPN) masih menyimpan benih-benih bagi berkembangnya polisi kekuasaan. Metode pembelajaran yang lebih bersifat instruksional, kualitas tenaga instruktur, dan nuansa pendidikan yang masih kaku dan militeristik adalah faktor-faktor penghambat pembentukan polisi yang berbudaya sipil.
    Keempat, di samping melalui proses pendidikan, pengembangan sumber daya manusia perlu diikuti dengan proses pelatihan secara reguler, khususnya pembentukan keterampilan dan pembinaan kepribadian. Proses pelatihan harus dilakukan pada situasi dan kondisi yang sejauh mungkin didekatkan dengan alam nyata (praktik), terutama pada tingkat Kepolisian Resor (Polres). Keberadaan instruktur pelatihan pada tingkat polres, sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Organisasi dan Tata Kerja Polres, harus difungsikan secara optimal dengan menyelenggarakan pelatihan dalam rangka pemeliharaan keterampilan, termasuk pembinaan moral dan kepribadian bagi segenap anggota Polres secara bergantian.
   Kelima, penyusunan mekanisme pengawasan eksternal yang bersifat lokal. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berpeluang mengajukan laporan atau pengaduan dan keluhan seperti yang telah berjalan dewasa ini, tetapi juga mempunyai akses untuk mengetahui tindak lanjut dan penyelesaian atas laporan atau pengaduan tersebut (proses yang transparan).
   Keenam, sedangkan hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif dalam mengurangi resiko kecurangan yaitu dengan memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil. Dimana anggota yang memiliki kemampuan kerja yang optimal mendapatkan reward yang sesuai dengan upaya yang dilakukannya, hal ini terkait dengan motivasi anggota dalam meniti karirnya. Sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama dalam mewujudkan kemampuan kerjanya. Selain itu hal ini juga akan berdampak pada adanya kerjasama dalam mengambil suatu keputusan.


Penulis : Godfrid Hutapea, SE, M.Si.
Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, 
Staff Pengajar Mata Kuliah Administrasi Kepolisian,
saat ini sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian 
di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian- PTIK.








[1] Momo Kelana, “Membangun Budaya Polisi Indonesia”, www.polri.id
[2] Rhenald Kasali, “Manajemen Perubahan”, www.ui.co.id
[3] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm  234.
[4] Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta, Raja Press, 2002, hal.55.
[5] Kurt Lewin, Field Theory in Social Science, dalam Hasan Mustafa “Manajemen Perubahan”, 2001.
[6] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm 164.
[7]     (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/26/metro/878536.htm)

Analisis Anak Jalanan Dalam Perspektif Patologi Sosial

       A.   Pendahuluan.
Negara telah menetapkan peraturan pemerintah mengenai hak dan kewajiban serta perlindungan anak dalam bentuk undang-undang, yakni Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ada 4 (empat) hak dasar, antara lain: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak berpartisipasi. Terkait dengan fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia perlu dipahami bahwa secara sosiologis anak jalanan merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka dalam kondisi yang tidak semestinya, tidak memiliki masa depan yang jelas dan keberadaaan mereka tidak jarang menjadi masalah.
Pada keluarga, anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tua mereka, mereka justru lebih banyak diluar rumah untuk melakukan aktivitas membantu ekonomi keluarga dengan berbagai cara, seperti berjualan koran, berdagang asongan dijalan, tukang semir sepatu, pengamen dan lain-lain. Pada masyarakat, kurangnya perhatian dari lingkungan sekitar tempat tinggal mereka terkadang membuta beban hidup mereka semakin berat dan sulit, karena masyarakat sekitar pun hidup tak jauh berbeda nasibnya. Negara telah menjamin kehidupan mereka didalam undang-undang bahwa fakir miskin dan anak terlantar merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara, namun terkadang didalam kenyataanya masih banyak saja fakir miskin dan anak terlantar tidak terurus dan diperhatikan.
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan hidup yang diinginkan oleh siapa pun, melainkan keterpaksaan yang harus diterima mereka karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian semua pihak. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung negatif bagi pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Dimana labilitas emosi dan mental mereka ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikkan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah bagi masyarakat yang harus diasingkan.
Pada taraf tertentu stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memicu perasaan alineatif mereka yang pada gilirannya akan melahirkan kepribadian introvet, cenderung sukar mengendalikan diri dan asosial. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa untuk masa mendatang. Membicarakan anak jalanan, umumnya mereka berasal dari keluarga yang kehidupan ekonominya lemah dan pekerjaanya berat. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan anak jalanan yang penuh dengan kemiskinanan, penganiayaan, dan kehilangan rasa kasih sayang. Hal ini cenderung membuat mereka berperilaku negatif dan tidak mematuhi aturan, seperti teori konsep yang dikemukakan oleh Charles H. Cooley tentang self concept, teori ini menjelaskan bahwa seseorang berkembang melalui intreaksinya dengan orang lain. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada anak- anak jalanan, mereka tumbuh disekitar orang-orang yang tidak memiliki norma yang sempurna sehingga mereka menjadi seperti orang dengan siapa mereka berinteraksi.

1.    Kasus Anak Jalanan Di Ibukota Jakarta.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Biro Kesejahteraan Sosial Pemprov DKI Jakarta, Supeno menyatakan masih sulit menangani maraknya anak jalanan yang ada di DKI Jakarta. Menurutnya, anak jalanan banyak di jumpai dijalan karena masih banyak pengendara yang memberikan uang. "Padahal larangan untuk tidak memberikan uang sudah tertuang di Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum," kata Supeno di Menteng, Jakarta, Selasa (26/3/2013). Supeno menuturkan, masih banyak pengendara dijalan yang tidak mengindahkan perda tersebut. Hal itu yang membuat anak jalanan gemar di jalan. Untuk itu kedepan, pihaknya akan memaksimalkan peran Satpol PP untuk mengurangi anak jalanan yang ada di Jakarta. Menurutnya ada 23 titik yang banyak disinggahi oleh anak jalanan. "Kita akan standby di 23 titik tersbut," ujar Supeno. Supeno menuturkan, Satpol PP akan standby mulai dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Mereka akan ditempatkan di perempatan di Jakarta. "Seperti di perempatan Coca-Cola Cempaka Putih atau di Matraman," ujar Supeno. Supeno mengatakan, saat ini jumlah anak jalanan di Jakarta ada sebanyak sekitar 7.300 orang. Jumlah itu tak hanya dari warga Jakarta saja namun juga berasal dari daerah. "Anak jalanan di Jakarta juga banyak dari daerah di sekitar Jakarta" katanya[1].

2.    Sejarah Dan Latar Belakang Patologi Sosial.
Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi dan lain sebagainya. Hal ini disamping mampu memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu sendiri yang biasa disebut masalah sosial.
Adanya revolusi industri Menunjukan betapa cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemakaian mesin-mesin industri di pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran. Penduduk desa yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke kota-kota industri, jumlah pengangguran di kota semakin besar, adanya kecenderungan pengusaha lebih menyukai tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih murah dan lebih rendah upahnya). Pada akhirnya, keadaan ini semakin menambah banyaknya masalah kemasyarakatan (social problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya.
Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya, sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melakukan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang lain.
Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit sosial murni dengan ukuran moralistic. Sehingga apa yang dinamakan dengan anak jalanan, kemiskinan, pelacuran, alkoholisme, perjudian, dan lain sebagainya adalah sebagai gejala penyakit sosial yang harus segera dihilangkan dimuka bumi.

3.      Pengertian Patologi Sosial.
Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog mendefinisikan patologi sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas local, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal. Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit. Maksud dari pengertian diatas bahwa patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang asal usul dan sifat-sifatnya penyakit. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk masyarakat karena masyarakat itu tidak ada bedanya dengan organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan konsep penyakit.
Sedangkan kata sosial adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang berinteraksi/berhubungan secara timbal balik, bukan manusia atau manusia dalam arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau masyarakat. Maka pengertian dari patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya manusia dalam hidup masyarakat. Sementara itu menurut teori anomi bahwa patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. (Koe Soe Khiam. 1963)[2].
Berikut pengertian Patologi Sosial atau sering juga disebut dengan perilaku menyimpang menurut para ahli:
a.    Blackmar dan Billin (1923) menyatakan bahwa, patologi sosial diartikan sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan kegagalan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian.
b.    Kartino Kartono (2005). Patologi Sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.


B.   Pembahasan.
       1.    Potret Anak Jalanan Di Ibukota Jakarta Dalam Perspektif Patologi Sosial.
Inilah kota Jakarta. Ketika warganya yang sibuk bekerja dengan aktivitas perkantoran di balik gedung-gedung pencakar langit, kita tentu bisa menyaksikan terus bertambahnya jumlah anak jalanan yang mengamen atau mengemis di perempatan jalan.  Mereka ini bukan siapa-siapa. Mereka adalah sebagian dari kita yang kesulitan mencari sesuap nasi dengan cara normal sudah tak terkendalikan. Itulah mereka, pemulung yang mengais-ngais buangan apa saja yang tak terpakai lagi dan dijual sekedar buat beli makanan, pengamen di lampu-lampu merah, pengecer yang menjaja koran dan majalah, bahkan sampai pengemis yang merangkap preman dan pencoleng. Hal ini merupakan cermin dari adanya kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan kegagalan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian sebagaimana yang dinyatakan oleh Blackmar dan Billin (1923).
Sepenggal cerita dari sudut remang-remang Jakarta, kota metropolitan di mana denyut kehidupan berlangsung terus menerus, sepanjang 24 jam sehari. Di ibukota ini, semua berhak hidup, termasuk anak-anak jalanan yang kini memenuhi jalan-jalan protokol di seluruh wilayah setiap harinya. Karenanya, meski hidup di sudut-sudut buram kota Jakarta, mereka adalah anak-anak bangsa, anak-anak penerus negara.  Beginilah nasib anak jalanan yang tak punya rumah berteduh yang tetap.
Mereka berteduh di bawah jembatan, stasiun kereta api, terminal, emper toko, pasar, dan bangunan kosong. "Sungguh terpaksa, aku menyanyi, mengharapkan tuan bermurah hati...."Seperti banyak pengamen lainnya, lagu karangan Rhoma Irama itulah andalan Ali (13), seorang anak jalanan di ibukota setiap harinya. Berbekal sebuah kecrekan dan dengan suara cempereng, jelek dan nyaris menyakitkan telinga, bocah bertubuh kurus itu sehari-hari menjajakan suaranya di jalan-jalan. Sekali sebulan, jebolan kelas empat SD ini menyempatkan menjenguk ibunya di Depok, Jawa Barat, sambil menyerahkan sebagian penghasilannya. Di situ sang ibu tinggal bersama bapak barunya Ali, yang sehari-hari nyambi sebagai tukang jaring ikan di sungai. Dengan penghasilan Rp 10.000 hingga Rp 20.000 per hari, ia mengatakan bisa membantu meringankan beban orang tuanya. "Lumayan, bisa bantu-bantu orang tua," tuturnya. Herman bocah asal Madiun, menceritakan kedatangannya ke Jakarta boleh dibilang nyasar. Setelah ditinggal mati ayahnya, ia bermaksud ke Yogyakarta. Tapi kereta api yang ia tumpangi membawanya ke Jakarta. "Saya sempat bingung," ujarnya. Yang jelas, setelah ia tiba di Jakarta, ia segera bergabung dengan rekan-rekannya yang senasib dengannya di Jatinegara. Tidak terasa, sudah empat tahun lewat hidupnya di Jakarta. Kerjaan Herman boleh dibilang serabutan. Dia menjadi pengamen, tukang parkir, dan pengojek payung. "Pokoknya apa sajalah," ujarnya. 
Pengalaman serupa terjadi pada Ahmad. Bocah berusia 13 tahun ini masih mempunyai orang tua di Beji, Depok. Tapi ia memilih tinggal menggelandang di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, setelah putus sekolah di kelas tiga SD. "Kalau kangen pada ibu bapak, baru saya pulang," katanya. Kisah yang menyedihkan diceritakan Yono. Ketika berumur tujuh tahun, ia dibawa kakaknya dari Solo ke Jakarta. Sesampainya di terminal Pulogadung, ia dilepas begitu saja. Belakangan baru ketahuan motif sang kakak meninggalkan Yono di Jakarta, ternyata ingin menikmati warisan orang tuanya seorang diri. 
Mega, pengamen cilik di daerah Pancoran. Gadis cilik berusia tujuh tahun itu dipaksa ibunya mengamen dengan alat musik seadanya yang terbuat dari kaleng. Ketika Mega beraksi, sang ibu hanya duduk di pinggir jalan. Begitu dapat recehan, Mega setor ke ibunya. Begitu seterusnya. Rupanya si ibu tidak bisa mentolerir bila Mega lengah ketika sedang bekerja. Mega juga ingin bermain seperti yang lainnya. Inilah yang membuat si ibu marah dan tega menampar wajah putri ciliknya itu. 
Minah, pengamen cilik di perempatan jalan di Gunung Sahari, usianya belum lagi tujuh tahun, tapi pekerjaanya sudah begitu berat. Sambil mengamen dan menyanyi sekenanya, ia menggendong adiknya yang masih balita. Meskipun bisa menghasilkan uang sampai puluhan ribu rupiah per hari, Minah tidak punya alas kaki. Tak terlihat pakaian yang mendekati normal melekat di badannya. Wajahnya begitu kusut, sementara itu sang ibu tampak sedang menghitung dengan seksama receh demi receh uang yang diperoleh buah hatinya[3]. Dalam perspektif patologi sosial mereka adalah penyakit masyarakat, ironis memang, padahal mereka hanyalah seorang anak manusia yang memiliki motivasi untuk bertahan hidup dan bahkan ada yang berjuang untuk menolong orang tuanya.

     2.  Faktor Penyebab Anak Jalanan Di Ibu Kota Jakarta Dalam Perspektif Patologi Sosial.
Faktor penyebab anak jalanan di ibukota Jakarta, dapat digolongkan melalui dua faktor.
a.    Faktor Internal.
1)    Ketidakmampuan penyesuaian diri anak terhadap perubahan lingkungan yang baik dan kreatif. Ketidakmampuan penyesuaian diri atau adaptasi anak terhadap perubahan lingkungan yang baik dan kreatif menimbulkan tindakan amoral atau tindakan yang mengarah pada perubahan yang negatif.
2)    Impian kebebasan anak. Berbagai masalah yang dihadapi anak di dalam keluarga dapat menimbulkan pemberotakan di dalam dirinya dan berusaha mencari jalan keluar. Seorang anak merasa bosan dan tersiksa di rumah karena setiap hari menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar dan tidak memperhatikan mereka, pada akhirnya dia memilih ke jalanan karena ia merasa memiliki kebebasan dan memiliki banyak kawan yang bisa menampung keluh kesahnya.
3)    Ingin memiliki uang sendiri. Berbeda dengan faktor dorongan dari orang tua, uang yang didapatkan anak biasanya digunakan untuk keperluan sendiri. Meskipun anak memberikan sebagian uangnya kepada orang tua mereka, ini lebih bersifat suka rela dan tidak memiliki dampak buruk terhadap anak apabila tidak memberi sebagian uangnya ke orang tua atau keluarganya. 

     b.    Faktor Eksternal.
1)    Dorongan Keluarga. Dalam hal ini biasanya adalah orangtua atau kakak mereka, adalah pihak yang turut andil mendorong anak pergi ke jalanan. Biasanya dorongan dari keluarga dengan cara mengajak anak pergi ke jalanan untuk membantu pekerjaan orang tuanya (biasanya membantu mengemis) dan menyuruh anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan di jalanan yang menghasilkan uang.
2)    Pengaruh Teman. Pengaruh teman menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak pergi ke jalanan. Pengaruh teman menunjukan dampak besar anak pergi ke jalanan, terlebih bila dorongan pergi ke jalanan mendapatkan dukungan dari orang tua atau keluarga.   
3)    Kekerasan dalam keluarga. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anak menjadi salah satu faktor yang mendorong anak lari dari rumah dan pergi ke jalanan. 

      3.    Anak Jalanan Dan Kepolisian.
Sebagai aparat penegak hukum, Polisi sangat dekat dengan kehidupan anak jalanan. Berbagai kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian seringkali melibatkan anak jalanan dan bahkan tidak sedikit kasus yang ditangani oleh kepolisian adalah anak jalanan di bawah umur. Operasi atau razia anak jalanan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menekan jumlah kejahatan jalanan. Kejahatan jalanan atau street crime merupakan kejahatan yang paling sering terjadi di kota – kota besar seperti di Jakarta. Mayoritas pelakunya, dilakukan oleh anak jalanan, seperti menodong, menjambret, memperkosa dan lain sebagainya.
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa.
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan, penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu, pelaksanaan proses peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak), dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Selain itu, UU Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Adapun substansi yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan demikian pihak kepolisian dalam undang-undang ini diharapkan dalam memproses hukum anak dibawah umur lebih mengedepankan cara-cara penyelesaian kekeluargaan melalui keadilan restoratif.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

     4.    Strategi Dalam Pengelolaan Anak Jalanan.
Masalah anak jalanan merupakan salah satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik sampai saat ini.. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi angka anak jalanan. Namun ironisnya jumlah anak jalanan sering mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan untuk di kota Jakarta, jumlah gelandangan dan pengemis biasanya bertambah pasca hari raya sehingga usaha pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis khususnya di perkotaan.
Fakta membuktikan bahwa anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan[4].
Sebenarnya masalah anak jalanan adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Oleh karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah anak jalanan di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan anak jalanan adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar.
Pemerintah daerah wajib menyediakan panti sosial yang mempunyai program dalam bidang pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan ketrampilan (workshop) bagi anak jalanan, gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan tidak kembali menggelandang dan mengemis di jalanan. Kita memiliki banyak orang dewasa yang memiliki penghasilan rendah dan tinggal di daerah-daerah kumuh yang tidak mengenyam pendidikan dengan baik dan tidak memiliki keterampilan khusus sehingga anak mereka sangat mudah untuk turun ke jalanan sebagai upaya untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah. Agar masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesempatan pekerjaan yang baik, maka program dibutuhkan untuk pendidikan dan bimbingan bagi mereka, khususnya bagi generasi mudanya[5].
Organisasi Sosial maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai bidang pelayanan menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis dihimbau untuk mensinergikan program kegiatannya dengan pemerintah daerah atau instansi terkait sehingga adanya sebuah program yang lebih komprehensif dan terhindarnya tumpang tindih kegiatan yang sejenis. Kelompok Usaha Bersama sebagai media pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat, serta melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, juga mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan melalui Kelompok Usaha Bersama bukan hanya meliputi penguatan individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya dengan menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban serta peningkatan partisipasi kelompok dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya[6].
Pelaksanaan program pemberdayaan warga miskin kelompok rawan pangan dan bencana akan dipadukan dengan instansi sosial yang telah ada di daerah lokasi seperti Organisasi Sosial Loka Bina Karya, Sasana Krida Karang Taruna, Majelis Ta’lim, Pondok Pesantren, Gereja dan lembaga keagamaan lainnya. Kelompok Usaha Bersama sebagai media utama pemberdayaan adalah kelompok dengan mana proses pemberdayaan dilaksanakan berupa Usaha Ekonomis Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial dalam semangat kebersamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial[7]. Dunia usaha dihimbau untuk peduli dan berperan aktif dalam penanganan anak jalanan lokal melalui program sosial yang ada diperusahaannya, seperti : a. menjadi orang tua asuh bagi pengemis anak-anak usia sekolah, b. pemberian ketrampilan dan mempekerjakan 1 orang sesuai bidang pekerjaan diperusahaan yang sederhana dengan asumsi 1 (satu) perusahaan mengentaskan 1 (satu) anak jalanan maka akan signifikan tingkat keberhasilan penanganan anak jalanan, c. pemberian modal usaha kepada keluarga tidak mampu yang memiliki jumlah anak yang banyak.

             C.   Kesimpulan.
Anak jalanan adalah fenomena yang sangat mudah ditemui di ibukota Jakarta. Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan anak turun ke jalan sebagai anak jalanan. Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk memberikan hak dasar, antara lain: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak berpartisipasi. Saat ini jumlah anak jalanan di Jakarta ada sebanyak sekitar 7.300 orang atau mungkin lebih, karena sulitnya mendata anak jalanan yang sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Anak jalanan dalam perspektif patologi sosial adalah penyakit masyarakat. Penyakit yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial di kota Jakarta. Kejahatan jalanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan anak jalanan. Anak jalanan yang melakukan tindak pidana kriminal akan diproses secara hukum oleh pihak kepolisian, namun pendekatan yang dilakukan dalam proses hukum tersebut menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice System atau Keadilan Restoratif dan Diversi.
Strategi dalam mereduksi angka anak jalanan di ibukota Jakarta adalah dengan melibatkan para stakeholders. Pemerintah Daerah perlu mendirikan lebih banyak lagi rumah singgah yang dapat menampung mereka pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan ketrampilan (workshop) bagi anak jalanan. Organisasi Sosial maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dapat bersinergi dengan Pemda dalam melaksanakan program-program yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat miskin seperti Organisasi Sosial Loka Bina Karya, Sasana Krida Karang Taruna, Majelis Ta’lim, Pondok Pesantren, Gereja dan lembaga keagamaan lainnya. Dunia usaha formal juga dihimbau untuk peduli dan berperan aktif dalam penanganan anak jalanan lokal melalui program sosial yang ada diperusahaannya.

                            Penulis : Godfrid Hutapea, SE, M.Si. 
     Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, Staff Pengajar 
                          Mata Kuliah Administrasi Kepolisian, 
           saat ini sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian 
                        di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian- PTIK.



 DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Baharsjah, Justika S. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI.
Feist, J. & Feist, G. J. (2006). Theories Of Personality. (Ed. Ke-6). New York: McGraw-Hill Inc.
Harton, Paul & S. L. Hunt, 1987. Sosiologi Jilid I & II. CV. Erlangga, Jakarta.
Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2005.
Linzey & Hall. (1993). Theories Of Personality. (4th ed). New York: John Wiley & Sons.
Meissner, Hanna. 1977. “Poverty in The Affluent Society”. New York : Harper and Row.
Narwoko, Dwi, J. Dan Suyanto, Bagong, 2004. Sosiologi :Teks Pengantar dan Terapan, Edisi Pertama. Prenada Media Kencana, Jakarta.
Soekanto S.,1986. Pengantar Sosiologi Kelompok. CV. Remadja Karya, Bandung.
Shadily, Hassan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta,1993.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

INTERNET :
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/03/26/pemda-dki-akui-masih-kesulitan-tangani-anak-jalanan
www.dhammacakka.org. Majalah Dhammacakka, 2001.  Anak Jalanan: Mereka Potret Krisis Saat Ini.




[1]  http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/03/26/pemda-dki-akui-masih-kesulitan-tangani-anak-jalanan
[2]  Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Raja Grafindo Persada:Jakarta, 2005.
[3]  Majalah Dhammacakka, 2001.  Anak Jalanan: Mereka Potret Krisis Saat Ini. www.dhammacakka.org
[5]  Meissner, Hanna. 1977. “Poverty in The Affluent Society”. New York : Harper and Row.
[6] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI
[7]  Ibid.