Senin, 17 Agustus 2015

BUDAYA ORGANISASI POLRI

A.     Latar Belakang.
Mengamati perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari sisi budaya organisasi merupakan hal yang menarikIrjen.Pol.Purn Drs.Momo Kelana,M.Si. dalam tulisannya yang berjudul “Membangun Budaya Polisi Indonesia” menyatakan bahwa, proses membangun budaya Polisi Indonesia tidak berlangsung pada ruang hampa, tetapi berada dalam proses membangun budaya bangsa dengan serba pengaruh lingkungan global, regional dan nasional yang beraneka ragam dan berubah cepat. Selain itu dikatakan juga bahwa “Budaya Polisi Indonesia” merupakan bagian tak terpisahkan dari “Budaya Bangsa Indonesia yang menegara”.[1]
Sejak bergulirnya reformasi, berbagai perubahan dilakukan dalam tatanan kehidupan kenegaraan termasuk reformasi dalam bidang keamanan yang menuntut pemisahaan Polri dari TNI, setelah selama 30 tahun terintegrasi dalam tubuh ABRI. Perubahan yang dilakukan secara tegas membedakan tugas pertahanan yang diemban oleh TNI dengan tugas pemeliharaan keamanan yang dipercayakan kepada Polri. Perubahan ini seharusnya juga diiringi dengan adanya perubahan pada dimensi budaya organisasi Polri yang dahulu adalah organisasi militer dan kini telah menjadi organisasi sipil.
Pada budaya organisasi sipil, Polri selayaknya menampilkan budaya organisasi yang bersifat humanistik dalam mencapai tujuan organisasinya. Dimana hubungan kerja antar sesama anggota akan selalu mencerminkan adanya kerjasama secara timbal balik (dua arah), baik pada hubungan kerja horizontal (pada level yang sama) maupun hubungan kerja vertikal (hubungan antara atasan dan bawahan). Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan yang memisahkan Polri dari TNI (budaya organisasi yang bersifat mekanistik).
Dengan demikian maka diperlukan adanya usaha yang terarah guna melakukan upaya-upaya dalam menyingkapi adanya perubahan pada sifat organisasi tersebut. Rhenald Kasali dalam bukunya “Manajemen Perubahan” menyatakan bahwa sebagian besar kita beranggapan perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah. Bahkan kebanyakan strategi perubahan (turn arround) diluncurkan saat memasuki tahap krisis. Kata para ahli, untuk menciptakan perubahan dibutuhkan perasaan-perasaan tidak puas terhadap kondisi sekarang. Kemudian ditambahkan lagi bahwa perubahan pada saat sedang berada di titik rendah adalah sangat rawan. Sebab pada saat itu, anda sudah tak punya energy dan resources sama sekali untuk mengangkatnya kembali.[2]
Merubah budaya yang merupakan bentukan dari hasil interaksi sosial bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun tentulah memerlukan waktu yang cukup lama pula. Seperti ada pepatah mengatakan “tidak semudah membalikan telapak tangan”. Dengan demikian diperlukan adanya keinginan secara menyeluruh dari semua anggota Polri untuk merubah dirinya secara terus menerus sebagaimana kutipan dari esayist Evelyn Waugh “Change is the only evidence of life” (perubahan adalah satu-satunya bukti kehidupan).

B. Konsep Dan Teori.
      1.  Teori Budaya Organisasi (Stephen P. Robbins)
           Adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi sehingga menjadi sebuah sistem makna bersama. Budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi yang lain. Makna bersama adalah merupakan seperangkat karakteristik yang dihargai oleh organisasi itu. Karekteristik tersebut adalah : Inovasi, Terperinci, Hasil Kerja, Humanistik, Tim Work, Kompetitif dan Kepastian. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima makna bersama itu menjadikan budaya organisasi itu semakin kuat dan sebaliknya.[3]

       2.  Konsep Penegakan Hukum Oleh Soerjono Soekanto
          Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[4]
           Karena itu tegaknya hukum ditandai oleh beberapa faktor yang saling terkait sangat erat yaitu:
a.  Faktor hukumnya sendiri (legal substance).
b.  Faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (legal apparatus).
c.   Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.  Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.  Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (legal culture).
Adapun ruang lingkup penegakkan hukum itu sesungguhnya amat luas, sebab, mencakup mereka yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang hukum. Dalam tulisan ini kita batasi penegak hukum itu mereka yang berkecimpung secara langsung dalam bidang penegakkan hukum mencakup law enenforcement dan peace maintenance.
Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukumnya sendiri, fasilitas, kesadaran dan kepatuhan masyarakat, juga sangat tergantung kepada faktor Penegak Hukum baik secara personal ataupun corpgeest. Namun meski faktor-faktor itu telah memenuhi standar yang diperlukan untuk tegaknya hukum dengan baik, masih diperlukan system politik demokratis yang berlaku dalam suatu negara. Pada saat system politik tampil secara demokratis maka fungsi hukum dapat tegak dengan baik dan penegakkan hukum menjadi lebih dimungkinkan.

       3.  Konsep Manajemen Perubahan
              Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent [5].
          Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.
Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang  merasa kurang nyaman.
Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.

       4.  Teori Motivasi Pengharapan Oleh Victor Vroom
          Teori ini membahas bahwa seseorang berperilaku tertentu yang sesuai dengan keinginan organisasi adalah akibat  adanya pengharapan bahwa perilaku tersebut akan diikuti oleh hasil tertentu yang sesuai dengan pengharapannya.[6]

    Titik kritis 1 : Apakah upaya tinggi yang saya berikan akan menghasilkan penilaian kinerja yang tinggi oleh atasan saya ?
    Titik kritis 2 : Apakah penilaian kinerja saya yang tinggi tersebut akan menghasilkan reward atau promosi jabatan ?
    Titik kritis 3 : Apakah reward yang saya terima atau promosi jabatan tersebut sudah sesuai dengan harapan saya ?

C.  Potret Budaya Polri
   Citra masyarakat terhadap Polri tidak secara langsung dipengaruhi oleh posisi formal, melainkan oleh sikap dan tindakan sehari-hari aparat Polri di lapangan yang dilihat, dirasakan dan dicerna oleh masyarakat. Persepsi dan penilaian masyarakat tentang Polri merupakan refleksi dari kultur pelayanan, kultur perlindungan, dan kultur penegakkan hukum yang dipraktekkan oleh Polri. Hal ini dikemukakan oleh Bibit S. Rianto dalam makalah seminar yang diadakan oleh Universitas Gajah Mada dengan tema “Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Madani”.
    Lebih lanjut dinyatakan bahwa Polri saat ini belum bersih dan belum berwibawa, belum mampu mewujudkan rasa aman masyarakat, belum mampu memberikan kemudahan-kemudahan prosedur dan keramahan dalam pelayanan masyarakat dan belum memiliki kinerja yang profesional sesuai harapan masyarakat yang tercermin dalam prilaku anggota di lapangan. Kultur Polisi saat ini sudah menyimpang dari kultur polisi universal, baik secara kelembagaan maupun personal, yaitu militeristik dan klientilistik yang tidak terlepas dari kultur politik makro nasional yang bercorak birokratik, korporatif dan militerristik.
     Seirama dengan alur perubahan dalam era reformasi, kultur Polri yang akan dibangun harus compatible dengan sistem demokratis dan pembentukan masyarakat madani/civil society di Indonesia. Menurut Bibit, dituntut 2 (dua) hal yang harus dikembangkan, yaitu budaya Polri yang berorientasi pada nilai-nilai madani dan budaya Polri yang berorientassi pada publik, dimana polri berfungsi sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan bernegara secara beradab, yang menggunakan metoda dan pendekatan yang bercorak non militeristik, non kekerasan serta memberikan penghormatan Hak Azasi Manusia sebagai suatu corporate culture Polri, yang memperhatikan aspek-aspek dan dinamika lokal serta menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas.
   Berikutnya penulis menemukan berita yang dilansir oleh Kompas mengenai adanya budaya negatif yang berkembang di tubuh Polri. Berita ini merupakan laporan dari Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Periode. Salah satu dari anggota Komisi III, menyatakan bahwa masih ada indikasi yang kuat dalam hal mutasi perwira untuk menempati posisi strategis yang berasal dari etnis tertentu, padahal mutunya pas-pasan. Di sisi lain, banyak yang dipromosikan di jabatan tertentu, setelah diduga menyetor uang kepada pejabat yang berwenang. Diungkapkan pula, dari percakapan dengan sejumlah sopir angkutan kota di Ciawi, Bogor, para sopir menyetor Rp 130.000 per hari kepada polisi setempat. Dalam beberapa kasus, sopir-sopir juga sering dicari-cari kesalahannya, misalnya dianggap salah ambil jalur. Namun, setelah membayar Rp 30.000, habis perkara.[7]
     Masih banyak kita saksikan praktik suap, sogok dan aneka pengingkaran hukum dan HAM di tubuh Polri dalam mengusut tuntas kasus-kasus hukum. Bahkan, polisi dapat tunduk pada kekuasaan politik saat berhadapan dengan kasus-kasus pidana, terutama tindakan korupsi yang melibatkan pejabat publik dalam lingkaran kekuasaan politik. Minimnya dana operasional polisi membuat polisi cenderung kompromi dengan kejahatan dan berperilaku curang. Hasil penelitian dari Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2003 menunjukkan tingkat korupsi di tubuh Polri sangat tinggi, jika dibandingkan dengan polisi di Asia lainnya.
  Berikutnya adalah budaya militerisme yang masih kental pada anggota Polri dalam melaksanakan tugas yang diembannya sebagai penegak hukum. Seperti yang dijabarkan oleh Nurfaizi dalam makalah seminar “Membangun Kultur Baru Polri” bahwa, Kepolisian adalah suatu institusi yang memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat universal ini dapat ditelusuri dari sejarah lahirnya polisi, baik polisi sebagai fungsi maupun polisi sebagai organ. Bila ditilik dari asal muasalnya, fungsi kepolisian lahir bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Fungsi kepolisian ditujukan untuk menjaga sistem kepatuhan (konformitas) anggota masyarakat terhadap kesepakatan antar warga masyarakat itu sendiri. Disebabkan kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku dan perilaku kriminal dari individu-individu warga masyarakat. Ketika masyarakat itu bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat atau yang disebut sebagai fungsi "Sicherheitspolitizei". Jadi kehadiran polisi itu adalah tergolong organisasi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect).
    Namun praktek perpolisian selama empat dasawarsa terakhir, POLRI telah menampilkan wajah sebagai sosok militer, yang menempatkan warga masyarakat sebagai lawannya. Potret bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, sehingga acapkali outputnya adalah dalam bentuk-bentuk "penggunaan kekerasan telanjang" (brute force), yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan, sehingga tak pelak lagi POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.
     Farouk Muhammad dalam tulisannya yang berjudul ”Merealisasikan Polisi Sipil” menyatakan bahwa, arti kata sipil (civil) bila dikaitkan dengan perpolisian maka adalah berarti sopan. Civil juga berarti santun, ramah, tidak kasar, dan sejenisnya yang jika diinterpretasi dalam konteks birokrasi akan mencerminkan sebuah pengertian yang berlawanan dengan kekuasaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa, polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan bukan sesuatu yang tabu dalam kepolisian. Implikasi pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien (setiap orang yang melakukan kontak dengan polisi) sebagai sosok yang memiliki martabat dan harga diri. Dengan demikian, lebih dari sekadar menghadirkan rasa aman, menjamin kepastian hukum, dan memperlakukan klien secara fair, paradigma kepolisian sipil lebih esensial lagi mengharuskan polisi untuk selalu mengedepankan kesopanan dan keramahan, sekaligus sejauh mungkin menghindari penggunaan kekuatan. Polisi di semua lini, termasuk polisi lalu lintas dan petugas interogasi, harus menghayati dan mendemonstrasikan perilaku civil itu dalam pelaksanaan tugas mereka.
    Selanjutnya dalam tulisan mengenai ”Hari Jadi Polri ke 61” di koran Kompas, Bambang Widodo Umar menegaskan, perubahan kultur yang sistemik harus dimulai dengan mengubah manajemen Polri yang masih militeristik menjadi manajemen sipil. Bambang mengilustrasikan, manajemen militeristik itu sebagai manajemen "Siap, Dan (komandan)". "Hapuskan juga budaya perintah-perintah tanpa dukungan anggaran. Yang terjadi anak buah cuma bisa "Siap Dan". Rakyat yang kasihan dipunguti “dana," ujar Bambang. Apa yang disampaikan ini memang kenyataan yang terjadi di lapangan. Seorang polisi lalu lintas di area Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pernah berkeluh kesah bagaimana atasannya tidak mau tahu jika anak buahnya sudah tidak punya uang bensin untuk patroli. "Memangnya kamu enggak bisa usaha sendiri di jalan," ujarnya menirukan ucapan pimpinannya. Tak mengherankan jika (oknum) polisi lalu jadi pengutip rakyat, bukan pengayom.
    Bibit S. Rianto menambahkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat melihat polisi bukan sebagai perseorangan, tetapi sebagai suatu lembaga. Tidak jarang kesalahan seorang nggota polisi (oknum) digeneralisir sebagai kesalahan lembaga polisi secara keseluruhan. Oleh karena itu budaya perseorangan petugas polisi harus dapat dikendalikan (idealis) dengan budaya organisasi (corporate cultur). Berikut ini kutipan mengenai corporate culture dari Charles Hampden dan Turner dalam bukunya Corporate Culture (Yudipiatkus Ltd. London, 1994), menyebutkan :"The culture of organization defines appropirate behavior, bonds and motivator individuals and assert solutions where there is ambiquity" (Budaya organisasi didefinisikan sebagai tingkah laku yang sesuai, perjanjian dan motivasi individual dan memberikan pemecahan dimana terdapat dua pilihan). Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian (control) dan pemahaaman terhadap budaya organisasi (understanding of an organization’s corporate culture) merupakan kunci tanggung jawab pimpinan organisasi sebagai alat utama (vital tool) untuk menggerakkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan memberikan "shareholder value" (nilai-nilai pihak yang terkait).

D.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi Polri.
    Pembinaan Sumber Daya Manusia Polri saat ini mengenal siklus personel mulai dari penerimaan, pendidikan penempatan, penggunaan, perawatan dan pemisahan dan penyaluran serta pengakhiran kedinasan. Kebijaksanaan yang saat ini ada pada umumnya bersifat centralized (terpusat), keecuali pembinaan karier untuk Pamen, Bintara, dan Tamtama seta Pegawai Negri Sipil Polri diserahkan kepada Kapolda. Permasalahan yang sering mencuat kepermukaan adalah pada tahap-tahap penerimaan personel, penempatan dan penggunaan perdsonel, termasuk pengendalian karier personel, pada-pada tempat inilah yang rawan kolusi dan nepotisme. Banyak rumor yang berkembang di luar/masyarakat tentang hali ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang bisa "mengatur". Sayangnya pembuktian masalah ini susah, korbanpun tidak ingin menjadi saksi pelapor dalam persidangan kecuali yang tertangkap tangan.
    Penulis berpendapat bahwa sistem di dalam penyelenggaraan organisasi Sumber Daya Manusia (SDM) Polri yang telah terkontaminasi dengan budaya negatif ini merupakan faktor awal yang menjadikan perilaku anggota Polri ke arah yang tidak efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasinya (pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat). Ada kecenderungan bahwa ketika ingin masuk menjadi anggota Polri dengan menggunakan uang, maka saat ia telah menjadi anggota Polri perilakunya adalah ingin mengembalikan uang yang telah dikeluarkan untuk masuk menjadi anggota Polri tersebut (kembali modal).
    Selain itu minimnya kesejahteraan polisi akan memunculkan aneka perilaku culas, sogok, dan suap di tubuh polisi, dimana kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya sangat besar untuk digunakan ke arah yang tidak menentu. Berdalih dengan menggunakan diskresi kepolisian maka oknum tersebut dapat melegalkan perilaku culas, sogok dan suap yang memang keadaan ini juga dipicu akibat adanya tawaran dari pelaku kejahatan. Karena itu, menyejahterakan personel polisi menjadi penting dan utama, jika kita ingin agar aparat polisi jujur dan lurus. Tindakan konkretnya dapat dilakukan dengan, misalnya, mengubah sistem penggajian Polri tidak sama dengan PNS biasa. Saatnya dipikirkan perlunya penambahan insentif dan tunjangan khusus bagi polisi.  Fasilitas di bidang personel seperti perumahan dinas, sarana transportasi, sarana latihan masih belum terprogramkan secara integrated dengan kebutuhan anggota sehingga banyak anggota baru yang "kleleran" (tidak terurus) yang berakibat menurunnya kinerja Polri, bahkan akan mewarnai budaya Polri yang sedang dikembangkan.
     Komitmen dari Top Manajemen dalam organisasi Polri juga harus memberikan tauladan dan kemauan yang kuat untuk membangun suatu budaya yang kuat dalam organisasi yang dipimpinnya. Peranan moral/kepribadian yang baik dari seorang pimpinan dan komitmennya yang kuat sangat mendorong tegaknya suatu etika prilaku dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan dasar bertindak dan suri tauladan bagi seluruh anggota Polri. Hal ini masih sangat terkait dengan budaya masyarakat Indonesia yang Paternalistik, dimana anak buah akan mencontoh apa yang dilakukan oleh atasannya sebagai panutan atau tokoh yang dipuja. Dengan demikian membangun lingkungan organisasi yang kondusif oleh pimpinan sangat diperlukan dalam membangun suatu etika perilaku dan budaya oganisasi yang kuat. Rendahnya kepedulian dan moral seorang pemimpin akan menyuburkan tindakan kecurangan yang pada akhirnya akan merusak bahkan dapat menghancurkan organisasi.

E.  Solusi.
      Adapun solusi atau strategi yang dikemukakan berikut ini adalah rangkuman dari berbagai tulisan yang menyangkut perbaikan budaya Polri oleh para pakar ilmu kepolisian yang ditulis di berbagai media massa.
     Pertama, melanjutkan sosialisasi internal tentang paradigma baru kepolisian melalui konsep change management, khususnya berkenaan dengan internalisasi karakter civil ini, dengan terus-menerus menekankan bahwa institusi Polri adalah milik masyarakat kepada siapa mereka harus mengabdi. Semboyan "abdi negara" yang notabene membawa dampak praktik pengabdian yang berorientasi ke atas sudah saatnya dikesampingkan.
    Kedua, mempertegas prosedur standar yang sudah ada sehingga anggota kepolisian benar-benar memahami dengan pasti kapan dan bagaimana kekerasan/kekuatan-hanya jika diperlukan-dapat digunakan. Kekerasan tidak lagi menjadi senjata utama melainkan para anggota Polri diharapkan memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan baik dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan melalui pelatihan-pelatihan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten dalam bidang komunikasi massa seperti kerjasama dengan institusi-intistusi pendidikan.
   Ketiga, melanjutkan penataan kembali sistem pendidikan Polri sehingga tidak hanya menyangkut aspek kurikulum, tetapi juga jenis dan jenjangnya, termasuk pembinaan aspek moral dan pengendalian diskresi. Sistem yang diterapkan dewasa ini khususnya pada level Sekolah Kepolisian Negara (SPN) masih menyimpan benih-benih bagi berkembangnya polisi kekuasaan. Metode pembelajaran yang lebih bersifat instruksional, kualitas tenaga instruktur, dan nuansa pendidikan yang masih kaku dan militeristik adalah faktor-faktor penghambat pembentukan polisi yang berbudaya sipil.
    Keempat, di samping melalui proses pendidikan, pengembangan sumber daya manusia perlu diikuti dengan proses pelatihan secara reguler, khususnya pembentukan keterampilan dan pembinaan kepribadian. Proses pelatihan harus dilakukan pada situasi dan kondisi yang sejauh mungkin didekatkan dengan alam nyata (praktik), terutama pada tingkat Kepolisian Resor (Polres). Keberadaan instruktur pelatihan pada tingkat polres, sebagaimana diatur dalam ketentuan tentang Organisasi dan Tata Kerja Polres, harus difungsikan secara optimal dengan menyelenggarakan pelatihan dalam rangka pemeliharaan keterampilan, termasuk pembinaan moral dan kepribadian bagi segenap anggota Polres secara bergantian.
   Kelima, penyusunan mekanisme pengawasan eksternal yang bersifat lokal. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berpeluang mengajukan laporan atau pengaduan dan keluhan seperti yang telah berjalan dewasa ini, tetapi juga mempunyai akses untuk mengetahui tindak lanjut dan penyelesaian atas laporan atau pengaduan tersebut (proses yang transparan).
   Keenam, sedangkan hal-hal yang dapat membantu terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif dalam mengurangi resiko kecurangan yaitu dengan memperkenalkan reward system yang berkaitan dengan pencapaian tujuan dan hasil. Dimana anggota yang memiliki kemampuan kerja yang optimal mendapatkan reward yang sesuai dengan upaya yang dilakukannya, hal ini terkait dengan motivasi anggota dalam meniti karirnya. Sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama dalam mewujudkan kemampuan kerjanya. Selain itu hal ini juga akan berdampak pada adanya kerjasama dalam mengambil suatu keputusan.


Penulis : Godfrid Hutapea, SE, M.Si.
Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, 
Staff Pengajar Mata Kuliah Administrasi Kepolisian,
saat ini sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian 
di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian- PTIK.








[1] Momo Kelana, “Membangun Budaya Polisi Indonesia”, www.polri.id
[2] Rhenald Kasali, “Manajemen Perubahan”, www.ui.co.id
[3] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm  234.
[4] Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta, Raja Press, 2002, hal.55.
[5] Kurt Lewin, Field Theory in Social Science, dalam Hasan Mustafa “Manajemen Perubahan”, 2001.
[6] Stephen P. Robbins, Organizational Behaviour : Concepts, Controversies, Applications, Hadijana Puja Atmaka, Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT. Prehallindo, 2001, hlm 164.
[7]     (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/26/metro/878536.htm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar