Kamis, 10 Maret 2016

Review Buku : Hoegeng, Oase Menyejukan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.



Review Buku     : Hoegeng, Oase Menyejukan Di Tengah Perilaku Koruptif Para    Pemimpin Bangsa.
Penulis                   : Aris Santoso, dkk.
Penerbit                  : Penerbit Bentang.
Tahun                     : 2009.
Jumlah Halaman : 324 Halaman.

Hoegeng sejak kecil sudah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi, sebagaimana ia melihat sosok polisi yang merupakan teman ayahnya, yaitu Pak Ating. Lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921, Hoegeng Iman Santoso adalah lelaki yang jenaka. Besar dilingkungan keluarga yang keturunan ningrat, maka Hoegeng memiliki kesempatan untuk mengenal sosok tokoh-tokoh nasional, yang merupakan teman ayahnya.
Jendral Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri ke lima di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun. Jenderal Hoegeng selalu konsisten dalam memberantas korupsi, penyelundupan dan tindak kriminal. Hoegeng tak takut pada backing aparat dan pejabat busuk bermental korup. Beliau bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. 
Selama kepemimpinan Jendral Hoegeng Iman Santoso banyak perubahan yang dilakukannya. Hoegeng melakukan pembenahan Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif. Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Sepak terjang Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana mulai terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun Hoegeng menjabat. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun. Banyak pihak ketika itu menilai pergantian Hoegeng penuh intrik politik. Tapi Hoegeng tak peduli dicopot. Dia sadar itu risiko memperjuangkan tegaknya hukum dengan kejujuran, dan sikap antikorupsi. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal. Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar