Review Buku : Hoegeng, Oase Menyejukan Di
Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin
Bangsa.
Penulis
: Aris Santoso, dkk.
Penerbit : Penerbit Bentang.
Tahun : 2009.
Jumlah
Halaman : 324 Halaman.
Hoegeng sejak kecil
sudah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi, sebagaimana ia melihat sosok
polisi yang merupakan teman ayahnya, yaitu Pak Ating. Lahir di Pekalongan, 14
Oktober 1921, Hoegeng Iman Santoso adalah lelaki yang jenaka. Besar
dilingkungan keluarga yang keturunan ningrat, maka Hoegeng memiliki kesempatan
untuk mengenal sosok tokoh-tokoh nasional, yang merupakan teman ayahnya.
Jendral Hoegeng Iman Santoso adalah
Kapolri ke lima di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi
(1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era
Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam
menjalankan tugasnya di manapun. Jenderal Hoegeng selalu konsisten dalam
memberantas korupsi, penyelundupan dan tindak kriminal. Hoegeng tak takut pada
backing aparat dan pejabat busuk bermental korup. Beliau bahkan kadang menyamar
dalam beberapa penyelidikan.
Selama kepemimpinan Jendral Hoegeng
Iman Santoso banyak perubahan yang dilakukannya. Hoegeng melakukan pembenahan
Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih
terkesan lebih dinamis dan komunikatif. Di bawah kepemimpinan Hoegeng peran
serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional, International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif.
Hal itu ditandai dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Sepak terjang Hoegeng membuat kroni
keluarga Cendana mulai terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan
orang-orang dekat Soeharto. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng
sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun Hoegeng menjabat. Kabar
pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Ironinya dengan alasan
penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun.
Banyak pihak ketika itu menilai pergantian Hoegeng penuh intrik politik. Tapi
Hoegeng tak peduli dicopot. Dia sadar itu risiko memperjuangkan tegaknya hukum
dengan kejujuran, dan sikap antikorupsi. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden
Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran
kepolisian.
Hoegeng berpendapat seorang polisi
adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi,
tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka
seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal. Karena prinsip itulah,
Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas
teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di
tempat. Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju
dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya.
Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi
yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar