Kamis, 10 Maret 2016

Review Buku : Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society



Review Buku         : Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Society
Penulis                   : Prof. (Ris.) Hermawan Sulistyo, Ph.D.
Penerbit                  : Pensil 324, Jakarta.
Tahun                     : 2009.
Jumlah Halaman : 234 Halaman.

Buku ini diterbitkan seiring dengan berkembangnya wacana seputar polemik yang mengangkat isu di bidang pertahanan dan keamanan bahwa diperlukan adanya UU Keamanan Nasional dan dibentuknya Dewan Keamanan Nasional. UU tersebut merupakan usulan dari Departemen Pertahanan RI pada tahun 2005, dengan maksud adanya payung hukum dari beberapa perundang-undangan di bidang Pertahanan dan Keamanan, seperti : UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam buku ini diuraikan secara komprehensif mengenai berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan berbagai konsep, bentuk, ideologi dan tujuan “Negara” menurut beberapa tokoh filsafat maupun ilmuan dari mancanegara dan lokal. Dijelaskan juga sejarah terbentuknya NKRI dengan dinyatakannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 sebagai dasar perjuangan menuju kemerdekaan. Dengan ditetapkan ideologi Pancasila dan UUD1945 sebagai konstitusi maka akhirnya terpenuhilah Indonesia sebgagai sebuah Negara yang diakui oleh peradaban dunia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai sebuah Negara maka Indonesia mutlak memiliki rakyat, wilayah, kedaulatan dan pengakuan dari negara lain yang kesemuannya itu merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Dalam perjalanan sebuah Negara maka terdapat berbagai bentuk ancaman yang akan membahayakan stabilitas keamanan dalam negerinya. Oleh karena itu definisi keamanan menjadi salah satu topik yang hangat diperdebatkan dalam berbagai kajian Studi Keamanan. Bangsa Indonesia sendiri telah memiliki konsep yang membedakan antara “keamanan” dan “pertahanan” yang telah termanifestasi dalam konsepsi Ketahanan Nasional.
Dalam perkembangan paradigma mengenai keamanan maka muncullah perspektif keamanan yang menggunakan “Keamanan dengan huruf K besar” yang merupakan domain dari militer sebagai actor utamanya. Sedangkan “keamanan dengan huruf k kecil” adalah domain Polri yang terfokus pada pemeliharaan kamtibmas. Seiring dengan itu muncul pula adanya rancangan mengenai pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang mengambil model National Security Council di Amerika.
Adanya rancangan UU Keamanan Nasional dan pembentukan Dewan Keamanan Nasional merupakan kontraproduktif terhadap semangat reformasi di sektor keamanan dan pertahanan yang dirumuskan dalam TAP MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Alotnya perdebatan terhadap rancangan UU Kamnas ini disebabkan adanya ketakutan publik akan bangkitnya sebuah pemerintahan yang menonjolkan peran militier dalam kehidupan sipil dimana tugas militer adalah membunuh sehingga pelaksanaan tugasnya dalam mengawal keamanan nasional menggunakan pendekatan “to kill or be killed”. Sedangkan tugas Polisi adalah memelihara kamtibmas, menegakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat dalam konteks kehidupan sipil. 

Review Jurnal : Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan



Review Jurnal        : Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan
Penulis                   : Awaloedin Djamin.
Penerbit                  : Jurnal Keamanan Nasional, Vol 1, No 3.
Tahun                     : 2015.
Jumlah Halaman : 17 Halaman.

Tulisan ini ditulis oleh seorang pakar dan intelektual di bidang ilmu kepolisian. Sebagai seorang praktisi yang pernah menduduki jabatan tertinggi di institusi kepolisian (Kapolri), beliau juga telah mendapatkan gelar Profesor untuk bidang Ilmu Administrasi Negara.  Dalam tulisan ini beliau sangat prihatin terhadap polemik yang berkembang saat ini mengenai Rancangan Undang-Undang Kemanan Nasional (RUU Kamnas). Dikatakan secara jelas dalam tulisan ini bahwa RUU Kamnas ini sangat lemah kajian akademisnya.
Argumen tersebut dijabarkan kedalam beberapa hal yaitu : Pertama, bahwa pemisahan fungsi pemerintahan antara TNI dan Polri telah dijelaskan dalam Konstitusi Negara, UUD 1945, pada pasal 30, ayat (2), (3) dan ayat (4) yang selanjutnya fungsi kepolisian tersebut dinyatakan lebih lanjut dalam UU No 2 Tahun 2002, pasal 5, ayat (1). Oleh karena itu bahwa pada situasi dan kondisi dimana TNI dan Polri terlibat dalam tugas yang beriringan maka harus dilandasi oleh regulasi yang memiliki batas waktu serta TNI bersifat diperbantukan kepada Polri. Kedua, RUU Kamnas justru berpijak pada logika politik penguasa bukannya berpijak pada logika sipil. Oleh karena itu RUU Kamnas tidak memberikan ruang kebebasan sipil yang sangat beretntangan dengan alam demokrasi saat ini.
Istilah Pertahanan dan Keamanan saat ini menjadi marak dijadikan diskursus oleh para pakar keamanan. Hal ini disebabkan banyaknya pengertian yang digunakan diberbagai Negara di dunia ini yang memiliki berbagai lembaga Negara dengan menggunakan nomenklatur “security”, seperti di Amerika dibentuk “homeland security” untuk menjaga keamanan dalam negeri dari serangan teroris , di Singapura dan Malaysia dibentuk “Internal Secutity” untuk mengamankan Negara dari ancaman kelompok yang mencoba menggulingkan pemerintahan, sedangkan di Australia “Internal Security”bertugas dalam mengamankan para pejabat Negara.
Sebagai salah satu isu munculnya RUU Kamnas adalah bahwa Polri minim dari pengawasan, sehingga dikhawatirkan menjadi instansi yang “super body”. Namun kehawatiran ini tidak beralasan, karena secara eksternal Polri diawasi oleh Kompolnas, DPR, BPKP, BPK, LSM dan Media Massa. Sedangkan secara internal Polri memiliki struktur Irwasum, Propam dan Irwasda di tingkat Polda. Walau demikian diakui oleh penulis bahwa bentuk pengawasan eksternal dan internal tersebut belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Dengan demikian RUU Kamnas harus memiliki landasan yang jelas secara akademis yang mampu menjelaskan urgensi sebuah UU dari perspektif Filosofis, Sosiologis, Konstitusi dan aspek lainnya. Jika RUU Kamnas tidak kuat dalam kajian akademisnya maka sebaiknya RUU tersebut ditolak dan dikembalikan ke pemerintah. Lemahnya kajian akademis dalam penyusunan RUU di Indonesia akan berdampak pada buruknya pengelolaan ketatanegaraan.

Review Buku : Negeri Serdadu & Polisi Tidur



Review Buku         : Negeri Serdadu & Polisi Tidur.
Penulis                   : Hermawan Sulistyo.
Penerbit                  : Pensil – 324.
Tahun                     : 2011.
Jumlah Halaman : 197 Halaman.

Buku ini adalah kumpulan esai yang ditulis sebagai bentuk kritikan terhadap peran militer yang merajalela di Indonesia. Diawali dengan penjabaran tentang institusi yang berwenang dalam memelihara dan menjaga Keamanan Negara yaitu TNI dan Polri, namun diukur dari derajat kinerjanya kedua institusi ini jelas memiliki domain yang berbeda. TNI dalam domain menjaga dan memelihara keutuhan nation-state dalam pengertian fisik territorial, sedangkan Polri dalam domain terciptanya keamanan dan rasa aman masyarakat.
Di masa kepemimpinan Presiden Gus Dur (2001) terjadi ketegangan politik antara Presiden dan TNI. Saat itu Gus Dur menggunakan hak prerogatifnya dalam mengangkat dan memberhentikan petinggi TNI. Proses “gangguan” ini membuat jarak antara Gus Dur dan TNI, sehingga dilakukanlah sejumlah program reformasi internal TNI. Visi TNI diperbaharui dengan “Paradigma Baru TNI’ yang dikenal dengan tiga pergeseran peran. Yang paling dirasakan adalah TNI tidak lagi turun ke jalan dalam pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh para demonstran. Pergolakan dari internal TNI terlihat dari adanya kebijakan KSAD TNI AD, Ryamizard Ryiacudu yang memberlakukan “minggu militer” dan dilanjutkan ke “bulan militer”. Bahkan ketegangan tersebut memunculkn isu akan adanya kudeta militer.
Disinggung juga mengenai posisi Indonesia dengan Australia yang merupakan “tetangga” yang strategis dalam konteks keamanan regional. Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri Indonesia dapat mempengaruhi instabilitas kawasan Australia. Dengan demikian Australia mendukung kembalinya Indonesia menjadi Negara yang demokratis dan bersatu.
Adanya gesekan TNI-Polri di lapis bawah juga dibahas dalam buku ini. Hal ini merupakan akibat adanya pemisahan TNI-Polri yang secara mendasar belumlah tuntas. Kompetisi dan rivalitas tidak hanya ditingkat bawah, tetapi juga ditingkat pimpinan TNI-Polri. Isu RUU Kamnas serta alokasi anggaran dalam APBN merupakan wujud yang dapat dijadikan fakta atas kompetisi tersebut.
Birokrasi dan Pelayanan Polri sepertinya mendapat sorotan, bahwa birokrasi  Polri lebih cenderung dilayani, daripada dilayani. Oleh karena itu Polri harus mencari format yang pas dalam menyusun program reformasi birokrasi di masa depan. Reformasi Birokrasi di tubuh Polri dilakukan berdasarkan tiga dimensi : Postur, Struktur dan Kultur.
Kesuksesan Polri dalam membongkar jaringan teroris Bom Bali I, Bom Bali II, JW Marriot dan Kedubes Australia memberikan angin segar berupa bantuan yang mengalir dari dalam dan luar negeri. Hal ini mengakibatkan adanya kompetisi internal antar fungsi dan kewilayahan dalam operasi penangkapan teroris. Belum lagi adanya ketidak adilan atas pemberian reward atas anggota yang memiliki andil dalam pengungkapan kasus-kasus tersebut.

Review Buku : Pokok-Pokok Penyelenggaraan Keamanan



Review Buku : Pokok-Pokok Penyelenggaraan Keamanan
Penulis            : Prof. (Ris.) Hermawan Sulistyo, Ph.D. &  Drs. Andi Masmiyat.
Penerbit          : Forum Kerja Concern untuk Masyarakat Madani.
Tahun              : 2012.
Jumlah Halaman : 58 Halaman.

Indonesia memiliki posisi yang strategis di benua Asia. Setidaknya jumlah penduduk yang sangat besar dan letak kewilayahan yang berada diantara benua Asia dan Australia memiliki keunggulan dan sekaligus permasalahan yang besar. Oleh karena itu adanya persatuan dalam tata pikir dan tata laku yang terwujud dalam Pancasila dan UUD 1945 merupakan modal dasar sebagai sebuah Negara dalam mewujudkan cita-citanya.
Salah satu cita-cita tersebut adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui konsep pertahanan dan keamanan Negara  yang diwujudkan dalam pasal 30 UUD 1945. Dalam hal keamanan Negara diselenggarakan oleh fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan seluruh rakyat sebgai kekuatan pendukung.
Aman adalah suatu keadaan atau kondisi bebas dari bahaya yang dirasakan oleh seseorang maupun secara komunal atau secara bersama sama. Perasaan aman adalah sebuah hakikat yang paling dasar bersamaan dengan kebutuhan badani lainnya seperti sandang, pangan kesehatan dan kasih sayang. Namun dalam pencapaian kebutuhan badani inilah timbul pertentangan antara manusia dengan manusia lainnya dalam rangka penguasaan sumberdaya-sumberdaya yang terbatas jumlahnya. Maka timbulah bahaya yang berasala dari manusia maupun dari lingkungan alam sekitarnya.
Terjadilah penindasan antara manusia yang memiliki kekuatan terhadap manusia yang lemah. Oleh karena itu dalam peradaban manusia yang semakin bermartabat dibangunlah ikatan yang dapat mengatur tata kehidupan bersama antara manusia kuat dan manusia lemah. Tata kehidupan bersama tersebut dibangun dalam sebuah Negara yang memiliki susunan pemerintahan yang lengkap dan berwibawa.
Negara berkewajiban memberikan rasa bebas dari gangguan badani, rasa terjaiminnya keselamatan terhadap dirinya, rasa terjaminnya kepastian tentang benar salah menurut hukum dan rasa damai, bebas dari kekhawatiran sebagai tujuan di bidang keamanan Negara. Dalam mencapai tujuan di bidang keamanan Negara tersebut maka diperlukan upaya dalam penanggulan terhadap berbagai bentuk gangguan.
Sistem Keamanan Rakyat Semesta adalah upaya dalam mewujudkan keamanan Negara. Polri merupakan unsur utama dalam sistem tersebut sedangkan aparatur Negara lain yang berdasarkan UU mempunyai wewenang kepolisian terbatas. Upaya keamanan melibatkan semua orang, semua peralatan baik oleh alat perlengkapan Negara, masyarakat maupun perorangan dengan mendahulukan kepentingan bersama.
Pengemban fungsi kepolisian adalah Polri sedangkan pengemban fungsi kepolisian lainnya adalah Kepolisian Khusus, PPNS dan bentuk pengamanan Swakarsa. Seluruh pengemban fungsi pengamanan merupakan wujud dari Falsafah Panca sila dan tata bernegara UUD 1945. Apabila Negara tidak dapat memberikan jaminan keamanan bagi warga negaranya maka rakyat berhak untuk meminta dan Negara wajib untuk memenuhinya.

Review Buku : Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.



Review Buku         : Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.
Penulis                   : David Jenkins.
Penerbit                  : Komunitas Bambu.
Tahun                     : 2010.
Jumlah Halaman : 252 Halaman.

David Jenkins adalah seorang wartawan senior Australia yang bertugas di Indonesia pada tahun 1969-1970. Ia menulis buku ini berdasarkan studi yang panjang, untuk menggambarkan kehidupan mantan Presiden Soeharto selama tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang di Jawa yang kejam namun sarat akan perubahan dari masa kolonial Belanda ke pendudukan Jepang.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Dusun Kemusuk, sebelah barat kota Yogyakarta. Dalam penguasaan bahasa belanda, Soeharto tidaklah cakap, sehingga saat menjadi serdadu KNIL, ia tidak cemerlang. Ketika Belanda menyerah kepada serdadu Jepang, Soeharto pergi ke Cimahi di pinggiran Barat Bandung, karena ia tidak sudi untuk dimasukkan ke Kamp tawanan perang. Awalnya Jepang masuk ke Indonesia dielu-elukan karena dianggap membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan, namun tidak lama disadari bahwa Jepang tidaklah berbeda dengan Belanda dalam menjajah Indonesia.
Masa itu Soeharto tidak memiliki pekerjaan sehingga ia mendaftar untuk menjadi Polisi Indonesia. Setelah diterima menjadi polisi, ia menjalani pendididkan selama tiga bulan dan menjadi lulusan terbaik. Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam beberapa kesempatan Soeharto menyatakan bahwa ia pernah menjabat sebagai asisten inspektur polisi, namun banyak kalangan yang menyangsikan keterangan tersebut, karena jabatan itu hanya bisa diberikan kepada seseorang yang telah memiliki gelar dari universitas tertentu di Jepang. Sementara Soeharto bukanlah seorang polisi yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas.
Dari polisi, Soeharto berpindah ke AD bentukan Jepang yaitu, PETA. Peta adalah embrio dari terbentuknya TNI. Dalam pemilihan calon perwira yang dilakukan oleh Tsuchiya Kiso, Soeharto terpilih menjadi Komandan Pleton. Lagi-lagi Soeharto memberikan keterangan yang kontroversi terhadap seleksi tersebut, dikatakan bahwa dari 500 calon hanya 2 yang terpilih menjadi perwira. Padahal menurut catatan sejarah terdapat 20-30 orang yang lolos dalam seleksi tersebut.
Pelatihan PETA tersebut membekali Soeharto terhadap teori militer. Sepanjang pelatihan dibekali dengan pentingnya menunjukkan rasa hormat kepada atasan dan peduli kepada anak buah. Soeharto tentu saja menyadari soal-soal semacam itu, ketika di KNIL dan ia benar-benar meresapi dalam hati. Kelak bertahun-tahun kemudian ia dikenal  sangat mempedulikan anak buahnya. Memang upaya-upaya untuk kepentingan tersebut mendorongnya untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dan mengumpulkan dana yang mencurigakan. Hal tersebut menjadi ciri utama dalam masa jabatannya sebagai perwira senior maupun sebagai Presiden. Dan ketika tindakan-tindakannya tersebut sudah terlampau jauh maka legitimasinya sebagai Presiden pun jatuh.