Review Buku
: Soeharto Di Bawah Militerisme
Jepang.
Penulis
: David Jenkins.
Penerbit : Komunitas Bambu.
Tahun : 2010.
Jumlah
Halaman : 252 Halaman.
David Jenkins adalah seorang wartawan
senior Australia yang bertugas di Indonesia pada tahun 1969-1970. Ia menulis
buku ini berdasarkan studi yang panjang, untuk menggambarkan kehidupan mantan
Presiden Soeharto selama tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang di Jawa
yang kejam namun sarat akan perubahan dari masa kolonial Belanda ke pendudukan Jepang.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Dusun
Kemusuk, sebelah barat kota Yogyakarta. Dalam penguasaan bahasa belanda,
Soeharto tidaklah cakap, sehingga saat menjadi serdadu KNIL, ia tidak
cemerlang. Ketika Belanda menyerah kepada serdadu Jepang, Soeharto pergi ke Cimahi
di pinggiran Barat Bandung, karena ia tidak sudi untuk dimasukkan ke Kamp
tawanan perang. Awalnya Jepang masuk ke Indonesia dielu-elukan karena dianggap
membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan, namun tidak lama disadari bahwa
Jepang tidaklah berbeda dengan Belanda dalam menjajah Indonesia.
Masa itu Soeharto tidak memiliki pekerjaan
sehingga ia mendaftar untuk menjadi Polisi Indonesia. Setelah diterima menjadi
polisi, ia menjalani pendididkan selama tiga bulan dan menjadi lulusan terbaik.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam beberapa kesempatan Soeharto menyatakan
bahwa ia pernah menjabat sebagai asisten inspektur polisi, namun banyak
kalangan yang menyangsikan keterangan tersebut, karena jabatan itu hanya bisa
diberikan kepada seseorang yang telah memiliki gelar dari universitas tertentu
di Jepang. Sementara Soeharto bukanlah seorang polisi yang pernah mengenyam
pendidikan di Universitas.
Dari polisi, Soeharto berpindah ke AD
bentukan Jepang yaitu, PETA. Peta adalah embrio dari terbentuknya TNI. Dalam
pemilihan calon perwira yang dilakukan oleh Tsuchiya Kiso, Soeharto terpilih
menjadi Komandan Pleton. Lagi-lagi Soeharto memberikan keterangan yang
kontroversi terhadap seleksi tersebut, dikatakan bahwa dari 500 calon hanya 2
yang terpilih menjadi perwira. Padahal menurut catatan sejarah terdapat 20-30
orang yang lolos dalam seleksi tersebut.
Pelatihan PETA tersebut membekali Soeharto
terhadap teori militer. Sepanjang pelatihan dibekali dengan pentingnya
menunjukkan rasa hormat kepada atasan dan peduli kepada anak buah. Soeharto
tentu saja menyadari soal-soal semacam itu, ketika di KNIL dan ia benar-benar
meresapi dalam hati. Kelak bertahun-tahun kemudian ia dikenal sangat mempedulikan anak buahnya. Memang
upaya-upaya untuk kepentingan tersebut mendorongnya untuk melakukan
kesepakatan-kesepakatan bisnis dan mengumpulkan dana yang mencurigakan. Hal
tersebut menjadi ciri utama dalam masa jabatannya sebagai perwira senior maupun
sebagai Presiden. Dan ketika tindakan-tindakannya tersebut sudah terlampau jauh
maka legitimasinya sebagai Presiden pun jatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar