A. Kegunaan
Konsep Manajemen Perubahan
Perubahan lingkungan organisasi
merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari oleh organisasi
manapun, baik organisasi yang berada di private
sector maupun public sector. Perubahan lingkungan eksternal dan internal menuntut
adanya usaha
secara terus menerus yang dilakukan oleh seluruh individu yang berada di
dalam organisasi tersebut. Adanya perubahan lingkungan eksternal organisasi yang
dipengaruhi oleh politik,
hukum, kebudayaan, teknologi, sumber daya alam, demografi, ekonomi serta faktor lainnya merupakan hal yang mendorong organisasi untuk melakukan
perubahan terhadap komponen internal organisasi, agar organisasi tersebut tetap selaras dengan lingkungannya. Sedangkan untuk perubahan lingkungan internal
organisasi, diperlukan
serangkaian proses pengelolaan
sumberdaya, struktur, teknik kerja atau proses, pola pikir dan budaya organisasi
yang merupakan unsur penting dalam mendorong organisasi untuk terus melakukan perubahan
dari kondisi saat ini ke kondisi yang diinginkan.
Kast, Fremont dan Rosenzweig (2000), menyatakan bahwa,
tidak ada organisasi yang hidup dalam isolasi. Setiap organisasi hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan tertentu[1].
Dengan demikian kehidupan
suatu organisasi, sebagai sistem terbuka, selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Kenyataannya faktor lingkungan
organisasi tidak pernah diam dan selalu
berubah dari waktu ke waktu. Apabila organisasi mau mempertahankan eksistensinya,
maka ia harus mampu
mengikuti arus perubahan lingkungan tersebut.
Diperlukan adanya konsep yang dapat membantu organisasi untuk dapat mengelola
perubahan yang dihadapinya, peneliti melihat relevansi sebuah konsep yang dapat
membantu organisasi agar bertahan dalam
lingkungan yang selalu berubah, yaitu Konsep Manajemen Perubahan. Konsep Manajemen Perubahan merupakan sebuah konsep yang
menawarkan kepada organisasi untuk dapat bertahan dalam gelombang perubahan
yang terus terjadi. Kurt Lewin (1951) mengembangan
model perubahan terencana yang disebut force-field model yang
menekankan kekuatan penekanan. Model ini dibagi dalam tiga tahap, yang
menjelaskan cara-cara mengambil inisiatif, mengelola dan menstabilkan proses
perubahan, yaitu: unfreezing, changing dan refreezing[2].
Unfreezing atau pencairan, merupakan tahap pertama yang fokus pada
penciptaan motivasi untuk berubah. Pencairan merupakan usaha perubahan untuk
mengatasi resistensi individual dan kesesuaian kelompok. Proses pencairan
merupakan adu kekuatan antara faktor pendorong dan faktor penghalang bagi
perubahan status quo. Pencairan
dimaksudkan agar seseorang tidak terbelenggu oleh keinginan untuk
mempertahankan status quo dan bersedia membuka diri. Changing atau menggerakkan, merupakan tahap pembelajaran
di mana karyawan diberi informasi baru, model perilaku baru, atau cara baru
dalam melihat sesuatu. Tujuannya adalah membantu karyawan dalam mempelajari
konsep atau titik pandang baru. Refreezing atau pembekuan kembali, merupakan tahap dimana perubahan yang terjadi
distabilisasi dengan membantu karyawan mengintegrasikan perilaku dan sikap yang
telah berubah ke dalam cara yang normal untuk melakukan sesuatu. Hal ini
dilakukan dengan memberi karyawan kesempatan untuk menunjukkan perilaku dan
sikap baru. Sedangkan Lesley
Partride (2007) menyatakan konsepnya
menjadi lebih simple,
bahwa
Manajemen Perubahan dapat dinyatakan sebagai pengelolaan transisi dari situasi
lama ke situasi baru. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya unfreezing atau pencairan pada situasi
yang lama dan upaya pemantapan bentuk atau refreezing
ke dalam situasi baru, sehingga menjadi situasi yang mapan[3].
Perubahan ataupun pergeseran nilai-nilai organisasi
adalah suatu respon terhadap perubahan lingkungan globalnya. Perubahan dalam berbagai kekuatan yang ada pada pasar ataupun perubahan yang diingini oleh para stakeholders-nya, ikut
mempengaruhi pergeseran nilai-nilai dalam organisasi. Dalam dekade terakhir ini, kita menyaksikan
pergeseran nilai organisasi dalam berbagai
aspek. Kanter, mencatat ada enam pergeseran nilai organisasi yang masing-masing berdampak serius terhadap
sumber daya manusia.
Menurut Kanter, pergeseran nilai organisasi dimasa yang akan datang akan
mengarah kepada : Pergeseran dari organisasi yang besar berubah
menjadi organisasi yang lebih ramping, Pergeseran dari vertikal ke horizontal, Pergeseran dari keseragaman menjadi keragaman, Pergeseran sumber kekuasaan dari status dan
hak memerintah menjadi hubungan
antar manusia, Pergeseran
loyalitas bentuk baru dari perusahaan ke proyek dan Pergeseran asset karir dari nilai tambah
organisasional ke nilai tambah reputasional[4].
B. Polri Sebagai Pilar Penegak Hukum Di Indonesia.
Kepolisian Negara
Republik Indonesia atau disingkat dengan Polri merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri[5].
Sebagai organisasi yang memiliki tugas dalam hal memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri maka Polri
memiliki lingkungan eksternal yang sangat dinamis. Bahkan dalam makalah yang
diseminarkan pada Lokakarya “Sistem
Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Indonesia Baru” Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa, Polisi perlu senantiasa melakukan pencerahan diri
agar dapat diresapi (entrenched) oleh
nilai, wawasan yang berlaku dalam orde sosial-politik dimana polisi berada. Maka
tidak berlebihan, bahwa dalam suatu konverensi kepolisian internasional dilontarkan pendapat,
bahwa “polisi adalah pemimpin
bangsanya”[6].
Selanjutnya peneliti
sangat tertarik dengan pernyataan yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dalam
makalah tersebut. Dinyatakan dengan tegas bahwa keberadaan Polri di negeri ini
adalah “driver”[7],
meminjam istilah Rhenald Kasali (2014), yang memiliki kendali penuh terhadap
arah penegakan hukum di Indonesia. Suatu masyarakat akan
menjaga kelangsungan hidupnya dengan mempertahankan
kapital sosial yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Polisi bekerja dengan memperteguh kehadiran norma-norma sosial,
dan sebaliknya, polisi
dapat “merobohkan” masyarakat dengan membiarkan
norma-norma itu tak terjaga. Polisi yang
“easy going” akan memberi isyarat,
bahwa hukum di negeri itu tidak perlu dijalankan
secara bersungguh-sungguh. Perkara dan kejadian dapat diatur, hukuman dapat ditawar dan sikap-sikap laxity (longgar, seenaknya) lainnya.
Demikian pula sebaliknya. Polisi yang
tegas dan correct mencerminkan apa
yang terjadi dalam bidang hukum
di suatu negeri. Maka polisi memiliki kontribusi penting apakah suatu negeri mau dibawa ke arah anomi lewat
impunitas-impunitas, atau mau dibawa kepada suatu keadaan
yang teratur, tertib, aman berdasarkan hukum[8].
Indonesia secara normatif-konstitusional, adalah negara
berdasarkan hukum atau yang sering juga disebut sebagai negara hukum. Di
tengah-tengah itu, Polisi merupakan salah satu
pilar yang penting, karena instansi tersebut mempunyai peranan yang
sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan[9].
Untuk mewujudkan janji-janji tersebut menjadi kenyataan, maka polisi harus
mampu dan sekaligus mempunyai dedikasi serta komitmen yang tinggi, untuk memperlihatkan citra polisi
bekerja secara profesional. Sebab kalau tidak mampu memperlihatkan kinerja yang
demikian, maka sangatlah wajar apabila kemudian masyarakat menganggap bahwa polisi
bekerja tidak profesional.
C.
Permasalahan Di Tubuh Polri.
Data empirik telah banyak menunjukkan bahwa kinerja Polri perlu dibenahi. Berbagai
lembaga swadaya masyarakat seperti Kontras, Indonesian
Police Watch dan Indonesian
Corruption Watch telah banyak melansir informasi ke masyarakat melalui
berbagai kesempatan mengenai
berbagai tindakan yang cacat hukum yang dilakukan oleh para anggota Polri.
Kasus korupsi yang menimpa para petinggi Polri juga tidak luput dari berita di
berbagai media massa baik media cetak maupun media tayang. Media cetak “Kompas”
telah melakukan jejak pendapat masyarakat terhadap kinerja Polri selama lebih
dari satu
dasawarsa. Hasil jejak pendapat tersebut menyatakan bahwa walau Polri
sebagai pilar penegakan hukum, namun tubuh Polri masih dinodai jelaga hitam. Publik menilai
kinerja aparat kepolisian masih diwarnai oleh aroma suap yang kental. Kondisi
tersebut, menurut publik, dipengaruhi oleh sistem penegakan hukum yang lemah di
dalam institusi kepolisian itu sendiri[10].
Selama satu dasawarsa, penilaian publik terhadap citra
positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat “Kompas” merekam
penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal
kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian
positif terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif
meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden
menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya
dalam mengungkap kasus terorisme. Tahun 2012, ketika usia Polri mencapai 66 tahun
dan saat pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian terhadap
citra positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden jajak pendapat
ini memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi yang lebih besar, yakni
49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk. Mereka menilai, tubuh Polri telah
dikotori oleh sikap dan perilaku aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar
pelaksanaan profesi polisi yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Masalah yang
dihadapi secara internal Polri juga tak
kalah hebatnya. Adanya sistem setoran kepada atasan merupakan cerita lama alias
“old story”, jabatan dan penempatan
tugas para personil Polri yang baru selesai menempuh pendidikan juga merupakan
komoditi bagi oknum Polri. Hal ini senada dengan pernyataan dari seorang pengamat
kepolisian, Bambang Widodo Umar.
Dinyatakan bahwa ada sebagian perwira Polri yang memakai duit
pelicin untuk naik pangkat atau sekadar pindah jabatan. Menurut Bambang, terdapat kelemahan dalam sistem
pengelolaan sumber daya manusia di internal Polri yang membuat praktek “jeruk
makan jeruk” terjadi[11]. Kasus intervensi kepada anggota yang
dilakukan oleh atasan masih sering terdengar dari anggota Polri saat bertugas
di lapangan. Jusuf, Doktor dalam bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas
Indonesia, dalam disertasinya menyoroti bahwa masih terjadi intervensi atasan
kepada anggotanya dalam penyidikan kasus tindak pidana. Intervensi atasan
kepada bawahan pada saat pelaksanaan tugas ini, juga semakin memperburuk
kinerja organisasi Polri di mata masyarakat[12].
Belum lagi gaya hidup bermewah-mewah (hedonisme) menjadi “life
style” para anggota Polri sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW),
Neta S Pane[13] dan masih banyak masalah lainnya yang
membuat kinerja Polri semakin merosot dan berdampak buruk bagi “Citra Polri” di
mata masyarakat. Hal yang penulis kemukakan tersebut, bukanlah bermaksud untuk
membuka aib dari organisasi Polri yang kita cintai ini, tetapi penulis justru
memiliki keprihatinan terhadap lembaga yang sangat bergengsi ini, yang bahkan
dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “polisi adalah pemimpin bangsanya”.
D.
Tiga Segi Dalam Menilai Kinerja Polri
David H. Bailey (1994) menyatakan bahwa kinerja polisi dapat dinilai dari
tiga segi kriteria, yaitu : efektivitas, efisiensi, dan kejujuran. Efektivitas
dinilai dari segi apakah polisi mencapai tujuan yang mereka diciptakan. Dengan
demikian maka masyarakat umum akan menilai adanya kondisi peningkatan keamanan
dan ketertiban masyarakat yang baik yang diciptakan oleh polisi. Sedangkan
efisiensi dinilai dari segi biaya yang dikeluarkan negara untuk kegiatan
operasional kepolisian. Sehingga masyarakat akan menuntut kepada pihak
kepolisian atas biaya yang telah digunakan untuk kegiatan operasionalnya,
apakah keamanan dan ketertiban yang diciptakan polisi telah sesuai dengan nilai
dari biaya yang telah dikeluarkan oleh negara. Untuk segi kejujuran, merupakan
bagian yang jauh lebih penting dimiliki oleh seorang polisi. Kejujuran
melintasi dimensi dari efektifitas dan efisiensi dan merupakan hal yang paling
banyak menjadi isu sensitif bagi masyarakat umum. Kriteria penilaian untuk segi
kejujuran berfokus pada, apakah polisi memperlakukan orang dengan baik, secara
hukum dan moral, terlepas dari efektivitas mereka dalam mencegah dan membasmi
kejahatan atau efisiensi dalam kegiatan operasionalnya untuk menghemat biaya.
Dengan demikian maka ditekankan oleh David H. Bailey bahwa polisi harus selalu
memiliki agenda perubahan dari ketiga segi kriteria tersebut[14].
E.
Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol)
Lembaga Pendidikan Polri atau disingkat dengan Lemdikpol adalah
unsur pendukung sebagai pelaksana pendidikan pembentukan dan pengembangan yang
berada di bawah Kapolri.
Lemdikpol bertugas merencanakan, mengembangkan dan menyelenggarakan
fungsi pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan
Polri yang meliputi pendidikan profesi, manajerial (kepemimpinan), akademis,
dan vokasi[15]. Lemdikpol melaksanakan proses belajar mengajar yang
merupakan suatu proses untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
serta sikap yang dibutuhkan dalam pemenuhan tuntutan tugas-tugas kepolisian.
Selain itu pendidikan di Lemdikpol
juga merupakan suatu rangkaian kegiatan dari siklus pembinaan manajemen sumber
daya manusia sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Polri tetap
berpegang pada prinsip keterpaduan dengan tujuan untuk mengakomodir sistem pendidikan yang diterapkan oleh Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Prinsip keterpaduan ini dapat
dilihat dengan adanya ketentuan bahwa semua sistem dan jenjang kependidikan Polri berada
dalam satu lembaga yaitu Lemdikpol, yang mengarah pada sistem pendidikan satu pintu.
Melalui sistem
pendidikan dan pelatihan
ini, Lemdikpol diharapkan akan dapat
melahirkan sosok-sosok anggota Polri
yang profesional dan berkualitas. Selain memiliki kemampuan, skill, pengetahuan yang luas juga harus
memiliki sikap, mental dan perilaku yang humanis, berwibawa dan cerdas, sesuai
dengan filosofi
pendidikan Polri yaitu Mahir,
Terpuji dan Patuh Hukum. Kondisi semacam ini sangat diperlukan untuk menjawab
tantangan Polri di masa kini dan yang akan datang terhadap tuntutan-tuntutan
masyarakat yang semakin tinggi
dan adanya kompetisi secara objektif terhadap institusi lain yang juga telah
memiliki kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Tuntutan
akan perubahan yang terus mendesak dari
masyarakat, agar Polri dapat bekerja lebih profesional dan dapat bermitra dengan institusi penegak hukum lainnya merupakan tantangan dari Lemdikpol sebagai lembaga yang
bertugas dalam membentuk karakter personil Polri yang berintegritas tinggi. Sistem pendidikan di Lemdikpol
diselenggarakan dengan mengintegrasikan aspek pengetahuan, teknologi, moral dan ketrampilan yang dikolaborasi melalui metode pendidikan ilmiah, sehingga dapat diaplikasikan
dalam tugas-tugas kepolisian oleh para personil Polri di
lapangan.
F. Struktur Kurikulum di Lembaga Pendidikan Polri
Kurikulum menurut Undang Undang No 12, Tahun 2012, adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan Pendidikan Tinggi[16]. Dengan demikian maka, kurikulum merupakan
landasan utama penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional menuju
ke pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar lulusan yang diinginkan oleh institusi pendidikan. Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi atau bahan pelajaran dan kajian serta cara penyampaian maupun cara
penilaian untuk menjamin tercapainya kompetensi lulusan merupakan informasi
pokok yang harus ada dalam kurikulum. Kurikulum dijadikan sebagai acuan pokok
bagi setiap program studi dalam merencanakan dan mengendalikan programnya
masing-masing.
Dalam era globalisasi ini dunia pendidikan mendapat
tantangan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang diharapkan mampu berperan
secara global. Pengaruh globalisasi dicirikan dengan adanya aliran manusia,
informasi, teknologi baru, modal dan gagasan serta citra. Keadaan ini
mempengaruhi perubahan nilai kehidupan masyarakat, perubahan tuntutan dunia
kerja terhadap lulusan, sehinga diperlukan lulusan yang memiliki kompetensi
sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu, teknologi dan seni, dunia kerja,
profesi, pengembangan kepribadian dengan ciri khas kebudayaannya masing-masing.
Saat ini tengah terjadi
perubahan kurikulum di dunia perguruan tinggi di Indonesia yaitu semula menitik
beratkan pada pemecahan masalah internal perguruan tinggi dengan target
penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang menekankan pada proses
pendidikan yang mengacu pada konteks kebudayaan dan pengembangan manusia secara
komprehensif, mendunia/universal dengan targetnya adalah menghasilkan lulusan
yang berkebudayaan dan mampu berperan di dunia internasional[17].
Terkait dengan itu maka
yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah para siswa yang telah mengikuti
pendidikan di lembaga pendidikan Polri telah memiliki potensi sebagai manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya
untuk dapat memperbaiki kinerja organisasi dan citra Polri di mata masyarakat?.
Hal ini perlu dievaluasi secara terus menerus oleh lembaga pendidikan Polri.
Isu perubahan lingkungan organisasi yang sering dilontarkan dan didengungkan
oleh para pimpinan Polri saat Apel Pagi, Rapat Kerja dan berbagai kegiatan
Forum Ilmiah baik yang diselenggarakan secara interen maupun eksteren, perlu
mendapat perhatian bagi lembaga pendidikan Polri. Lembaga pendidikan Polri
perlu memberikan langkah nyata secara konkrit terhadap upaya dalam mengelola
perubahan lingkungan organisasi Polri, melalui penyempurnaan kurikulum dengan
memasukan mata kuliah Manajemen Perubahan ke dalam struktur kurikulum di
lembaga pendidikan Polri.
Saat ini penulis melihat
betapa pentingnya mata kuliah Manajemen Perubahan bagi siswa di Lembaga
Pendidikan Polri, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi. Penulis
berkeyakinan bahwa dengan masuknya mata kuliah Manajemen Perubahan ke dalam
struktur kurikulum di lembaga pendidikan tinggi Polri, akan memberikan dampak terhadap
percepatan proses perubahan di tubuh Polri. Dengan memasukan mata kuliah
Manajemen Perubahan ke dalam struktur kurikulum di lembaga pendidikan Polri,
maka mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas pendidikan di lembaga pendidikan
Polri menjadi mengenal, mengetahui dan memahami Konsep Manajemen Perubahan.
Dalam artikel yang dipublikasikan secara internasional Mildred dkk, juga menyatakan
bahwa model atau konsep Manajemen Perubahan masih relevan untuk abad kedua
puluh satu ini. Masalah dan tantangan yang dihadapi pemimpin organisasi, ahli
pengembangan organisasi dan peneliti organisasi adalah berkaitan dengan
kecepatan dan kompleksitas perubahan yang diperlukan oleh organisasi dalam
menghadapi perubahan saat ini. Mildred dkk, memberikan penekanan kepada para
pemimpin perusahaan bahwa penelitian dan pengembangan konsep manajemen
perubahan akan membuat organisasi siap untuk menghadapi tantangan[18].
Konsep inilah yang akan digunakan oleh seluruh lulusan lembaga pendidikan Polri
dalam merespon dan mengelola perubahan lingkungan organisasi, bahwa organisasi
Polri sebagai
bagian dari sub-sistem dalam sistem
terbuka, akan selalu
dipengaruhi oleh lingkungannya dan diperlukan upaya secara konseptual dan ilmiah untuk
menghadapi perubahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan analisa evaluasi untuk penyempurnaan struktur kurikulum
di lembaga pendidikan Polri, agar para siswa dapat meningkatkan
kemampuan dan keterampilannya
dalam menghadapi dan mengelola perubahan
lingkungan organisasi Polri yang semakin kompetitif dalam
pelaksanaan tugas di lapangan serta
menjadi agen perubahan untuk memperbaiki kondisi organisasi saat ini ke kondisi
yang lebih baik.
Penulis
: Godfrid Hutapea, SE, M.Si.
Dosen
Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, Staff Pengajar Mata Kuliah
Administrasi Kepolisian,
saat ini
sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian di Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian- PTIK.
[1] Kast, D.,
E. Fremont, dan J. E. Rosenzweig dalam Djati Sundring Pantja, 2000. “Dampak Pergeseran Nilai-Nilai Organisasi Terhadap
Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya”, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi –
Universitas Kristen Petra.
[2] Kurt Lewin, 1951. Field
Theory in Social Science,
New York, Harper.
[3] Lesley Partride, dalam Rycko Dahniel
dan Surya Dharma, 2014. “Perilaku
Organisasi Polri”. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[4] Kanter, R. M. dalam Djati Sundring
Pantja, 2000. “Dampak Pergeseran Nilai-Nilai
Organisasi Terhadap Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya”, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi –
Universitas Kristen Petra.
[5] Pasal 5, Undang Undang No.2 Tahun 2002,
Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
[6] Satjipto,
Rahardjo, 2000. Wawasan Masa Depan
Polri Dalam Penegakan Keamanan Dan Hukum, Disampaikan Pada
Lokakarya “Sistem Pertahanan Dan Keamanan Negara Dalam Perspektif Indonesia Baru”,
Diselenggarakan di The Habibie Center, Jakarta, 21 – 22
November 2000.
[7] Rhenald Kasali, 2014, Self Driving, Penerbit Mizan, Jakarta.
[8] Satjipto, Rahardjo. op.cit.
[9] Satjipto,
Rahardjo, 2002.
Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di
Indonesia, Penerbit : Buku Kompas.
[11] http://www.radiodms.com/informasi/gaya-hidup/3409-perwira-setor-ke-budi-polisi-jeruk-makan-jeruk.html
[12] http://ilunikik-ui.ac.id/doktor_kik_pertama/
[13] http://news.okezone.com/read/2014/07/01/339/1006387/ipw-diusia-68-tahun-polri-masih-digerogoti-hedonisme
[14] Bailey H. David, 1994.
Police For The Future. Oxford
University Press.
[15] Pasal 24, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
[16] Pasal 35, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[17] Pasal 5, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[18] Mildred Golden Pryor, Sonia Taneja, John Humphreys, Donna Anderson, Lisa
Singleton, 2008. Challenges Facing Change
Management Theories And Research. Delhi
Business Review X Vol. 9, No. 1
(January - June 2008)
[1] Kast, D.,
E. Fremont, dan J. E. Rosenzweig dalam Djati Sundring Pantja, 2000. “Dampak Pergeseran Nilai-Nilai Organisasi Terhadap
Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya”, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi –
Universitas Kristen Petra.
[2] Kurt Lewin, 1951. Field
Theory in Social Science,
New York, Harper.
[3] Lesley Partride, dalam Rycko Dahniel
dan Surya Dharma, 2014. “Perilaku
Organisasi Polri”. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[4] Kanter, R. M. dalam Djati Sundring
Pantja, 2000. “Dampak Pergeseran Nilai-Nilai
Organisasi Terhadap Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya”, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi –
Universitas Kristen Petra.
[5] Pasal 5, Undang Undang No.2 Tahun 2002,
Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
[6] Satjipto,
Rahardjo, 2000. Wawasan Masa Depan
Polri Dalam Penegakan Keamanan Dan Hukum, Disampaikan Pada
Lokakarya “Sistem Pertahanan Dan Keamanan Negara Dalam Perspektif Indonesia Baru”,
Diselenggarakan di The Habibie Center, Jakarta, 21 – 22
November 2000.
[7] Rhenald Kasali, 2014, Self Driving, Penerbit Mizan, Jakarta.
[8] Satjipto, Rahardjo. op.cit.
[9] Satjipto,
Rahardjo, 2002.
Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di
Indonesia, Penerbit : Buku Kompas.
[11] http://www.radiodms.com/informasi/gaya-hidup/3409-perwira-setor-ke-budi-polisi-jeruk-makan-jeruk.html
[12] http://ilunikik-ui.ac.id/doktor_kik_pertama/
[13] http://news.okezone.com/read/2014/07/01/339/1006387/ipw-diusia-68-tahun-polri-masih-digerogoti-hedonisme
[14] Bailey H. David, 1994.
Police For The Future. Oxford
University Press.
[15] Pasal 24, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
[16] Pasal 35, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[17] Pasal 5, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[18] Mildred Golden Pryor, Sonia Taneja, John Humphreys, Donna Anderson, Lisa
Singleton, 2008. Challenges Facing Change
Management Theories And Research. Delhi
Business Review X Vol. 9, No. 1
(January - June 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar