Rabu, 12 Agustus 2015

Kegunaan Konsep Manajemen Perubahan Dalam Struktur Kurikulum Di Lembaga Pendidikan Polri

A.  Kegunaan Konsep Manajemen Perubahan
Perubahan lingkungan organisasi merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari oleh organisasi manapun, baik organisasi yang berada di private sector maupun public sector. Perubahan lingkungan eksternal dan internal menuntut adanya usaha secara terus menerus yang dilakukan oleh seluruh individu yang berada di dalam  organisasi tersebut. Adanya perubahan lingkungan eksternal organisasi yang dipengaruhi oleh politik, hukum, kebudayaan, teknologi, sumber daya alam, demografi, ekonomi serta faktor lainnya merupakan hal yang mendorong organisasi untuk melakukan perubahan terhadap komponen internal organisasi, agar organisasi tersebut tetap selaras dengan lingkungannya. Sedangkan untuk perubahan lingkungan internal organisasi, diperlukan serangkaian proses pengelolaan sumberdaya, struktur, teknik kerja atau proses, pola pikir dan budaya organisasi yang merupakan unsur penting dalam mendorong organisasi untuk terus melakukan perubahan dari kondisi saat ini ke kondisi yang diinginkan.
Kast, Fremont dan Rosenzweig (2000), menyatakan bahwa, tidak ada organisasi yang hidup dalam isolasi. Setiap organisasi hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan tertentu[1]. Dengan demikian kehidupan suatu organisasi, sebagai sistem terbuka, selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Kenyataannya faktor lingkungan organisasi tidak pernah diam dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Apabila organisasi mau mempertahankan eksistensinya, maka ia harus mampu mengikuti arus perubahan lingkungan tersebut. Diperlukan adanya konsep yang dapat membantu organisasi untuk dapat mengelola perubahan yang dihadapinya, peneliti melihat relevansi sebuah konsep yang dapat membantu organisasi agar bertahan dalam  lingkungan yang selalu berubah, yaitu Konsep Manajemen Perubahan. Konsep Manajemen Perubahan merupakan sebuah konsep yang menawarkan kepada organisasi untuk dapat bertahan dalam gelombang perubahan yang terus terjadi. Kurt Lewin (1951) mengembangan model perubahan terencana yang disebut force-field model yang menekankan kekuatan penekanan. Model ini dibagi dalam tiga tahap, yang menjelaskan cara-cara mengambil inisiatif, mengelola dan menstabilkan proses perubahan, yaitu: unfreezing, changing  dan refreezing[2].
Unfreezing atau pencairan, merupakan tahap pertama yang fokus pada penciptaan motivasi untuk berubah. Pencairan merupakan usaha perubahan untuk mengatasi resistensi individual dan kesesuaian kelompok. Proses pencairan merupakan adu kekuatan antara faktor pendorong dan faktor penghalang bagi perubahan status quo. Pencairan dimaksudkan agar seseorang tidak terbelenggu oleh keinginan untuk mempertahankan status quo dan bersedia membuka diri. Changing atau menggerakkan, merupakan tahap pembelajaran di mana karyawan diberi informasi baru, model perilaku baru, atau cara baru dalam melihat sesuatu. Tujuannya adalah membantu karyawan dalam mempelajari konsep atau titik pandang baru. Refreezing atau pembekuan kembali,  merupakan tahap dimana perubahan yang terjadi distabilisasi dengan membantu karyawan mengintegrasikan perilaku dan sikap yang telah berubah ke dalam cara yang normal untuk melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan dengan memberi karyawan kesempatan untuk menunjukkan perilaku dan sikap baru. Sedangkan Lesley Partride (2007) menyatakan konsepnya menjadi lebih simple, bahwa Manajemen Perubahan dapat dinyatakan sebagai pengelolaan transisi dari situasi lama ke situasi baru. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan upaya unfreezing atau pencairan pada situasi yang lama dan upaya pemantapan bentuk atau refreezing ke dalam situasi baru, sehingga menjadi situasi yang mapan[3].
Perubahan ataupun pergeseran nilai-nilai organisasi adalah suatu respon terhadap perubahan lingkungan globalnya. Perubahan dalam berbagai kekuatan yang ada pada pasar ataupun perubahan yang diingini oleh para stakeholders-nya, ikut mempengaruhi pergeseran nilai-nilai dalam organisasi. Dalam dekade terakhir ini, kita menyaksikan pergeseran nilai organisasi dalam berbagai aspek. Kanter, mencatat ada enam pergeseran nilai organisasi yang masing-masing berdampak serius terhadap sumber daya manusia. Menurut Kanter, pergeseran nilai organisasi dimasa yang akan datang akan mengarah kepada : Pergeseran dari organisasi yang besar berubah menjadi organisasi yang lebih ramping, Pergeseran dari vertikal ke horizontal, Pergeseran dari keseragaman menjadi keragaman, Pergeseran sumber kekuasaan dari status dan hak memerintah menjadi hubungan antar manusia, Pergeseran loyalitas bentuk baru dari perusahaan ke proyek dan Pergeseran asset karir dari nilai tambah organisasional ke nilai tambah reputasional[4].

B.   Polri Sebagai Pilar Penegak Hukum Di Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disingkat dengan Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri[5]. Sebagai organisasi yang memiliki tugas dalam hal memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri maka Polri memiliki lingkungan eksternal yang sangat dinamis. Bahkan dalam makalah yang diseminarkan pada Lokakarya “Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Indonesia Baru” Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, Polisi perlu senantiasa melakukan pencerahan diri agar dapat diresapi (entrenched) oleh nilai, wawasan yang berlaku dalam orde sosial-politik dimana polisi berada. Maka tidak berlebihan, bahwa dalam suatu konverensi kepolisian internasional dilontarkan pendapat, bahwa “polisi adalah pemimpin bangsanya”[6].
Selanjutnya peneliti sangat tertarik dengan pernyataan yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dalam makalah tersebut. Dinyatakan dengan tegas bahwa keberadaan Polri di negeri ini adalah “driver[7], meminjam istilah Rhenald Kasali (2014), yang memiliki kendali penuh terhadap arah penegakan hukum di Indonesia. Suatu masyarakat akan menjaga kelangsungan hidupnya dengan mempertahankan kapital sosial yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Polisi bekerja dengan memperteguh kehadiran norma-norma sosial, dan sebaliknya, polisi dapat “merobohkan” masyarakat dengan membiarkan norma-norma itu tak terjaga. Polisi yang “easy going” akan memberi isyarat, bahwa hukum di negeri itu tidak perlu dijalankan secara bersungguh-sungguh. Perkara dan kejadian dapat diatur, hukuman dapat ditawar dan sikap-sikap laxity (longgar, seenaknya) lainnya. Demikian pula sebaliknya. Polisi yang tegas dan correct mencerminkan apa yang terjadi dalam bidang hukum di suatu negeri. Maka polisi memiliki kontribusi penting apakah suatu negeri mau dibawa ke arah anomi lewat impunitas-impunitas, atau mau dibawa kepada suatu keadaan yang teratur, tertib, aman berdasarkan hukum[8].
Indonesia secara normatif-konstitusional, adalah negara berdasarkan hukum atau yang sering juga disebut sebagai negara hukum. Di tengah-tengah itu, Polisi merupakan salah satu  pilar yang penting, karena instansi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan[9]. Untuk mewujudkan janji-janji tersebut menjadi kenyataan, maka polisi harus mampu dan sekaligus mempunyai dedikasi serta komitmen yang  tinggi, untuk memperlihatkan citra polisi bekerja secara profesional. Sebab kalau tidak mampu memperlihatkan kinerja yang demikian, maka sangatlah wajar apabila kemudian masyarakat menganggap bahwa polisi bekerja tidak profesional.

C.   Permasalahan Di Tubuh Polri.
Data empirik telah banyak menunjukkan bahwa kinerja Polri perlu dibenahi. Berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti Kontras, Indonesian Police Watch dan Indonesian Corruption Watch telah banyak melansir informasi ke masyarakat melalui berbagai kesempatan mengenai berbagai tindakan yang cacat hukum yang dilakukan oleh para anggota Polri. Kasus korupsi yang menimpa para petinggi Polri juga tidak luput dari berita di berbagai media massa baik media cetak maupun media tayang. Media cetak “Kompas” telah melakukan jejak pendapat masyarakat terhadap kinerja Polri selama lebih dari satu dasawarsa. Hasil jejak pendapat tersebut menyatakan bahwa walau Polri sebagai pilar penegakan hukum, namun tubuh Polri masih dinodai jelaga hitam. Publik menilai kinerja aparat kepolisian masih diwarnai oleh aroma suap yang kental. Kondisi tersebut, menurut publik, dipengaruhi oleh sistem penegakan hukum yang lemah di dalam institusi kepolisian itu sendiri[10].
Selama satu dasawarsa, penilaian publik terhadap citra positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat Kompas merekam penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik pada masa-masa awal kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen responden yang memberi penilaian positif terhadap citra Polri. Tahun 2009, proporsi publik yang menilai positif meningkat dan mencapai titik tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden menyatakan citra Polri positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya dalam mengungkap kasus terorisme. Tahun 2012, ketika usia Polri mencapai 66 tahun dan saat pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian terhadap citra positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden jajak pendapat ini memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi yang lebih besar, yakni 49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk. Mereka menilai, tubuh Polri telah dikotori oleh sikap dan perilaku aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar pelaksanaan profesi polisi yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Masalah yang dihadapi secara internal Polri juga tak kalah hebatnya. Adanya sistem setoran kepada atasan merupakan cerita lama alias “old story”, jabatan dan penempatan tugas para personil Polri yang baru selesai menempuh pendidikan juga merupakan komoditi bagi oknum Polri. Hal ini senada dengan pernyataan dari seorang pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar. Dinyatakan bahwa ada sebagian perwira Polri yang memakai duit pelicin untuk naik pangkat atau sekadar pindah jabatan. Menurut Bambang, terdapat kelemahan dalam sistem pengelolaan sumber daya manusia di internal Polri yang membuat praktek “jeruk makan jeruk” terjadi[11]. Kasus intervensi kepada anggota yang dilakukan oleh atasan masih sering terdengar dari anggota Polri saat bertugas di lapangan. Jusuf, Doktor dalam bidang Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, dalam disertasinya menyoroti bahwa masih terjadi intervensi atasan kepada anggotanya dalam penyidikan kasus tindak pidana. Intervensi atasan kepada bawahan pada saat pelaksanaan tugas ini, juga semakin memperburuk kinerja organisasi Polri di mata masyarakat[12]. Belum lagi gaya hidup bermewah-mewah (hedonisme) menjadi “life style” para anggota Polri sebagaimana yang dinyatakan oleh Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane[13] dan masih banyak masalah lainnya yang membuat kinerja Polri semakin merosot dan berdampak buruk bagi “Citra Polri” di mata masyarakat. Hal yang penulis kemukakan tersebut, bukanlah bermaksud untuk membuka aib dari organisasi Polri yang kita cintai ini, tetapi penulis justru memiliki keprihatinan terhadap lembaga yang sangat bergengsi ini, yang bahkan dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “polisi adalah pemimpin bangsanya”.

D.   Tiga Segi Dalam Menilai Kinerja Polri
David H. Bailey (1994) menyatakan bahwa kinerja polisi dapat dinilai dari tiga segi kriteria, yaitu : efektivitas, efisiensi, dan kejujuran. Efektivitas dinilai dari segi apakah polisi mencapai tujuan yang mereka diciptakan. Dengan demikian maka masyarakat umum akan menilai adanya kondisi peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat yang baik yang diciptakan oleh polisi. Sedangkan efisiensi dinilai dari segi biaya yang dikeluarkan negara untuk kegiatan operasional kepolisian. Sehingga masyarakat akan menuntut kepada pihak kepolisian atas biaya yang telah digunakan untuk kegiatan operasionalnya, apakah keamanan dan ketertiban yang diciptakan polisi telah sesuai dengan nilai dari biaya yang telah dikeluarkan oleh negara. Untuk segi kejujuran, merupakan bagian yang jauh lebih penting dimiliki oleh seorang polisi. Kejujuran melintasi dimensi dari efektifitas dan efisiensi dan merupakan hal yang paling banyak menjadi isu sensitif bagi masyarakat umum. Kriteria penilaian untuk segi kejujuran berfokus pada, apakah polisi memperlakukan orang dengan baik, secara hukum dan moral, terlepas dari efektivitas mereka dalam mencegah dan membasmi kejahatan atau efisiensi dalam kegiatan operasionalnya untuk menghemat biaya. Dengan demikian maka ditekankan oleh David H. Bailey bahwa polisi harus selalu memiliki agenda perubahan dari ketiga segi kriteria tersebut[14].

E.   Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol)
Lembaga Pendidikan Polri atau disingkat dengan Lemdikpol adalah unsur pendukung sebagai pelaksana pendidikan pembentukan dan pengembangan yang berada di bawah Kapolri. Lemdikpol bertugas merencanakan, mengembangkan dan menyelenggarakan fungsi pendidikan pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan Polri yang meliputi pendidikan profesi, manajerial (kepemimpinan), akademis, dan vokasi[15]. Lemdikpol melaksanakan proses belajar mengajar yang merupakan suatu proses untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang dibutuhkan dalam pemenuhan tuntutan tugas-tugas kepolisian. Selain itu pendidikan di Lemdikpol juga merupakan suatu rangkaian kegiatan dari siklus pembinaan manajemen sumber daya manusia sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Polri tetap berpegang pada prinsip keterpaduan dengan tujuan untuk mengakomodir sistem pendidikan yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. Prinsip keterpaduan ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan bahwa semua sistem dan jenjang kependidikan Polri berada dalam satu lembaga yaitu Lemdikpol, yang mengarah pada sistem pendidikan satu pintu.
Melalui sistem pendidikan dan pelatihan ini, Lemdikpol diharapkan akan dapat melahirkan sosok-sosok anggota Polri yang profesional dan berkualitas. Selain memiliki kemampuan, skill, pengetahuan yang luas juga harus memiliki sikap, mental dan perilaku yang humanis, berwibawa dan cerdas, sesuai dengan filosofi pendidikan Polri yaitu Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum. Kondisi semacam ini sangat diperlukan untuk menjawab tantangan Polri di masa kini dan yang akan datang terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat yang semakin tinggi dan adanya kompetisi secara objektif terhadap institusi lain yang juga telah memiliki kewenangan dalam bidang penegakan hukum.  Tuntutan akan perubahan yang terus mendesak dari masyarakat, agar Polri dapat bekerja lebih profesional dan dapat bermitra dengan institusi penegak hukum lainnya  merupakan tantangan dari Lemdikpol sebagai lembaga yang bertugas dalam membentuk karakter personil Polri yang berintegritas tinggi. Sistem pendidikan di Lemdikpol diselenggarakan dengan mengintegrasikan aspek pengetahuan, teknologi, moral dan ketrampilan yang dikolaborasi melalui metode pendidikan ilmiah, sehingga dapat diaplikasikan dalam tugas-tugas kepolisian oleh para personil Polri di lapangan.

F.    Struktur Kurikulum di Lembaga Pendidikan Polri
Kurikulum menurut Undang Undang No 12, Tahun 2012, adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi[16]. Dengan demikian maka, kurikulum merupakan landasan utama penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional menuju ke pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar lulusan yang diinginkan oleh institusi pendidikan.  Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi atau bahan pelajaran dan kajian serta cara penyampaian maupun cara penilaian untuk menjamin tercapainya kompetensi lulusan merupakan informasi pokok yang harus ada dalam kurikulum. Kurikulum dijadikan sebagai acuan pokok bagi setiap program studi dalam merencanakan dan mengendalikan programnya masing-masing.
Dalam era globalisasi ini dunia pendidikan mendapat tantangan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang diharapkan mampu berperan secara global. Pengaruh globalisasi dicirikan dengan adanya aliran manusia, informasi, teknologi baru, modal dan gagasan serta citra. Keadaan ini mempengaruhi perubahan nilai kehidupan masyarakat, perubahan tuntutan dunia kerja terhadap lulusan, sehinga diperlukan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu, teknologi dan seni, dunia kerja, profesi, pengembangan kepribadian dengan ciri khas kebudayaannya masing-masing. Saat ini tengah terjadi perubahan kurikulum di dunia perguruan tinggi di Indonesia yaitu semula menitik beratkan pada pemecahan masalah internal perguruan tinggi dengan target penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang menekankan pada proses pendidikan yang mengacu pada konteks kebudayaan dan pengembangan manusia secara komprehensif, mendunia/universal dengan targetnya adalah menghasilkan lulusan yang berkebudayaan dan mampu berperan di dunia internasional[17].
Terkait dengan itu maka yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apakah para siswa yang telah mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan Polri telah memiliki potensi sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk dapat memperbaiki kinerja organisasi dan citra Polri di mata masyarakat?. Hal ini perlu dievaluasi secara terus menerus oleh lembaga pendidikan Polri. Isu perubahan lingkungan organisasi yang sering dilontarkan dan didengungkan oleh para pimpinan Polri saat Apel Pagi, Rapat Kerja dan berbagai kegiatan Forum Ilmiah baik yang diselenggarakan secara interen maupun eksteren, perlu mendapat perhatian bagi lembaga pendidikan Polri. Lembaga pendidikan Polri perlu memberikan langkah nyata secara konkrit terhadap upaya dalam mengelola perubahan lingkungan organisasi Polri, melalui penyempurnaan kurikulum dengan memasukan mata kuliah Manajemen Perubahan ke dalam struktur kurikulum di lembaga pendidikan Polri.
Saat ini penulis melihat betapa pentingnya mata kuliah Manajemen Perubahan bagi siswa di Lembaga Pendidikan Polri, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi. Penulis berkeyakinan bahwa dengan masuknya mata kuliah Manajemen Perubahan ke dalam struktur kurikulum di lembaga pendidikan tinggi Polri, akan memberikan dampak terhadap percepatan proses perubahan di tubuh Polri. Dengan memasukan mata kuliah Manajemen Perubahan ke dalam struktur kurikulum di lembaga pendidikan Polri, maka mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas pendidikan di lembaga pendidikan Polri menjadi mengenal, mengetahui dan memahami Konsep Manajemen Perubahan. Dalam artikel yang dipublikasikan secara internasional Mildred dkk, juga menyatakan bahwa model atau konsep Manajemen Perubahan masih relevan untuk abad kedua puluh satu ini. Masalah dan tantangan yang dihadapi pemimpin organisasi, ahli pengembangan organisasi dan peneliti organisasi adalah berkaitan dengan kecepatan dan kompleksitas perubahan yang diperlukan oleh organisasi dalam menghadapi perubahan saat ini. Mildred dkk, memberikan penekanan kepada para pemimpin perusahaan bahwa penelitian dan pengembangan konsep manajemen perubahan akan membuat organisasi siap untuk menghadapi tantangan[18]. Konsep inilah yang akan digunakan oleh seluruh lulusan lembaga pendidikan Polri dalam merespon dan mengelola perubahan lingkungan organisasi, bahwa organisasi Polri sebagai bagian dari sub-sistem dalam sistem terbuka, akan selalu dipengaruhi oleh lingkungannya dan diperlukan upaya secara konseptual dan ilmiah untuk menghadapi perubahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan analisa evaluasi untuk penyempurnaan struktur kurikulum di lembaga pendidikan Polri, agar para siswa dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam menghadapi dan mengelola perubahan lingkungan organisasi Polri yang semakin kompetitif dalam pelaksanaan tugas di lapangan serta menjadi agen perubahan untuk memperbaiki kondisi organisasi saat ini ke kondisi yang lebih baik.


Penulis : Godfrid Hutapea, SE, M.Si.
Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian – PTIK, Staff Pengajar Mata Kuliah Administrasi Kepolisian,
saat ini sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Kepolisian di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian- PTIK.




[1] Kast, D., E. Fremont, dan J. E. Rosenzweig dalam Djati Sundring Pantja, 2000. Dampak Pergeseran Nilai-Nilai Organisasi Terhadap Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra.
[2] Kurt Lewin, 1951. Field Theory in Social Science, New York, Harper.
[3] Lesley Partride, dalam Rycko Dahniel dan Surya Dharma, 2014. “Perilaku Organisasi Polri”. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[4] Kanter, R. M. dalam Djati Sundring Pantja, 2000. Dampak Pergeseran Nilai-Nilai Organisasi Terhadap Kebijaksanaan Sumber Daya Manusia dan Implikasinya, Jurnal Manajemen : Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra.
[5]  Pasal 5, Undang Undang No.2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
[6] Satjipto, Rahardjo, 2000. Wawasan Masa Depan Polri Dalam Penegakan Keamanan Dan Hukum, Disampaikan Pada Lokakarya “Sistem Pertahanan Dan Keamanan Negara Dalam Perspektif Indonesia Baru”, Diselenggarakan di The Habibie Center, Jakarta, 21 – 22 November 2000.
[7]  Rhenald Kasali, 2014, Self Driving, Penerbit Mizan, Jakarta.
[8]   Satjipto, Rahardjo. op.cit.
[9]  Satjipto, Rahardjo, 2002. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit : Buku Kompas.
[11]  http://www.radiodms.com/informasi/gaya-hidup/3409-perwira-setor-ke-budi-polisi-jeruk-makan-jeruk.html
[12] http://ilunikik-ui.ac.id/doktor_kik_pertama/
[13] http://news.okezone.com/read/2014/07/01/339/1006387/ipw-diusia-68-tahun-polri-masih-digerogoti-hedonisme
[14]  Bailey H. David, 1994. Police For The Future. Oxford University Press.
[15] Pasal 24, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[16] Pasal 35, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[17] Pasal 5, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
[18] Mildred Golden Pryor, Sonia Taneja, John Humphreys, Donna Anderson, Lisa Singleton, 2008. Challenges Facing Change Management Theories And Research. Delhi Business Review X Vol. 9, No. 1 (January - June 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar